Pagi itu di sebuah warung kopi di desa Sleman Yogyakarta, Nampak dua orang separuh baya yang sedang asyik mengobrol sambil sesekali menikmati hidangan yang tersedia di depan mereka. Jalanan di depan warung kopi itu lumayan ramai lalu-lalang kendaraan. Deru sepeda motor yang entah sudah berapa lusin melewati mereka meninggalkan kepulan debu yang lumayan mengganggu. Lalu muncullah seorang laki-laki seumuran dengan mereka masuk ke warung kopi tersebut.
“Sontoloyo” ujar si laki-laki yang baru masuk sambil duduk dan melepas topi hitam buntutnya.
“Lho…lho…lho, ada apa Mar? pagi-pagi kok wes misuh tho” tanya salah satu lelaki yang duduk di ujung meja.
Laki-laki yang teryata bernama Maryanto itu menjawab.
“Aku ga iso nang sawah, gara-gara akeh uwong teko nang sawah” jawab Maryanto sambil bersungut-sungut.
“Oalah, tapi mereka kan ga merusak. Cuma lihat-lihat saja tho? Jadi ga usah nesu”
“Ga berani masuk mereka, lha wong ada garis dari polisi. Coba aja masuk biar di sel” jawab Maryanto masih dengan nada kesal.
“Sabar tho, mas. Ikhlas ae. Itung-itung amal nang warga sekitar. Lha kampung kene akhire terkenal tho. Sampek-sampek tivi-tivi Jakarta teko kabeh.” Jawab lelaki di dekat Maryanto .
“Iyo mas, desa iki maleh rame. Warung, toko, tukang foto sampek tukang parkir yo kecipratan barokahe sawah sampeyan lho”.
Maryanto hanya diam sambil menyeruput kopi di depannya.
“Tapi sopo yo kiro-kiro sing ngawe opo kuwi jenenge? Skrop?” tanya lelaki di dekat Maryanto.
“Krop Sirkel” Jawab lelaki di ujung meja.
“Yo,iku kuwi. Krop Sirkel siapa yang iseng buat?”
“Halaah, paling-paling ya arek-arek mahasiswa sing lagi nganggur” kali ini Maryanto angkat bicara.
“Ojo buruk sangka dulu, ojo nuduh. Ya kalau mahasiswa lha kalau anak-anak kampung sini sendiri, kan isin awak e dewe” ujar lelaki di dekatnya.
“Arek kampung kene ga mungkin ana sing iso ngawe bunderan-bunderan kuwi. Lha wong smp ae akeh sing ga lulus. Ga ana duit ngawe tuku buku. Iki mesti gawenane mahasiswa sing nganggur” ujar Maryanto lagi.
“Tapi polisi wes ngoleki sing ngawe kok”
“Ya moga-moga saja ketemu. Aku ya ga begitu yakin sama polisi.” Maryanto bernada pasrah.
“Lha, kenapa ga yakin?”
“Lha mbuleet aja. Nyelesain kasus gayus yang gampang aja ga beres-beres. Apalagi nyelesain krop-kropan iki yang katanya jadi misteri di luar negeri.”
“Lho polisi kita kan ahli. Teroris ae iso ketangkep lho.”
“Lek teroris, di lubang semut pun ketangkep. Soale teroris regane larang. Iso nangkep siji iso entuk bintang.”
“Ohh, mosok se ngono mas?”
“Lha yo wis jelas ngono.”
Sepotong pisang goring mampir di mulut lelaki di ujung meja. Sementara itu terjadi perbincangan antara Maryanto dengan lelaki di sebelahnya terus berlanjut.
“Tapi yo durung mesti mahasiswa sing ngawe.”
“Terus sopo maneh?” tanya Maryanto.
“Yo iso ae, sing jare wong-wong UFO”
“Halah kok malah kowe percaya karo sing koyo ngono”
“Lho bisa saja mas. UFO iku teko nang kene.”
“Terus ana urusan opo UFO iku mampir nang kene?”
“Untuk menghibur mas”
“Eee lha dalah. Lha kok kowe malah ngawur.”
“Menghibur sopo?”
“Yo menghibur rakyat Indonesia tho.”
“Maksudmu?”
“Begini lho mas. Ndek tivi saiki kan wong wes mblenger karo berita-berita gayus, senturi, mafia pajak, rego lombok larang, opo maneh presiden ga ngurusi rakyat malah njaluk gajine munggah. Dadi rakyat wes mbleger pol, mblokek-mblokek karo pemerintah sing ngedabrus thok ndek tivi, radio, karo koran.”
“Terus?”
“Lha UFO iki berusaha menghibur awak dewe iki. Akhirnya banyak orang sing sedikit lali karo kasus gayus, ibu-ibu iso terhibur timbang mikirno lombok larang, berita-berita sing biasane gambar rupane Gayus saiki akeh nayangno desa e awak dewe.”
“Iku lak jenenge bukan menghibur tapi pengalihan isu.” Kali ini terdengar sanggahan dari lelaki di ujung meja.
“Yo wes lah opo ae sing jelas lek menurutku ngono kuwi.”
“Duh Gusti. Jaman wes akhir, mangkane akeh sing aneh-aneh. Jaman awak dewe cilik biyen ora ono sing aneh-aneh koyo iki. Pemimpin wes ora ono sing iso digugu, podo rebutan kekuasaan kabeh. Rakyat wes ora diurus, beras tambah larang. Bukane operasi pasar ngawe beras murah malah njaluk gaji munggah. Kapan yo negara iki iso aman-tenterem, gemah ripah loh jinawi?” ucap Maryanto dengan pelan.
“Oalah mas, aman tenterem, gemah ripah loh jinawi iku cuma ngawe wong-wong gede sing pinter-pinter. Awak dewe sing bendino mangan tahu-tempe karo telo iki iso mangan ngawe sesuk ae wes syukur alkhamdulillah.”
Tidak ada yang menjawab pernyataan itu. Hanya denting gelas kopi dan kecap mulut yang terdengar.
“Ya, wes lah. Mene tak panen ae sawahku. Timbang ngawe wong celaka, wes piro mbak yu? Kopi karo gorengan telu” Ujar Maryanto sambil berdiri dan memakai topi hitam buntutnya.
“Ora usah dibayar mas, aku ae sing mbayar. Wingi mari entuk arisan” Ucap lelaki di sampingnya.
“Wah, Suwun lho lek ngono, aku kate nang pak lurah disik. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam” Dijawab serempak oleh orang di dalam warung.
“Sak jane yo mesakno mas Maryanto , sawahe dadi rusak. Tapi yok opo maneh jenenge apes.” Ujar lelaki di ujung meja.
Dua orang lelaki di warung kopi itu meneruskan obrolan mereka tentang berbagai macam hal, sementara itu seorang murid SMA yang sedang memandang langit dari jendela kelasnya melihat sebuah benda aneh berbentuk mirip piring terbalik melesat cepat menjauhi langit Jogja di balik kumpulan-kumpulan awan.
Malang, 28 Januari 2011
*bisa dilihat juga di http://www.abawonos.blogspot.com

Bel sekolah telah berdentang-dentang, ruang kelasku sudah mulai senggang. Aku menyapu ruang kelasku sambil bersiul-siul kecil. Ini bukan hari piketku, karena saat ini giliran piket telah dihapus oleh sekolah. Tugas murid bukanlah membersihkan kelas tetapi belajar, begitu alasan dewan murid yang kudengar dari Pak Guru. Tapi bagiku menyapu kelas yang kosong adalah saat-saat yang menyenangkan. Saat-saat di mana aku bisa sendiri, berpikir, dan merenung tentang segala sesuatu untuk kucurahkan dalam tulisanku. Maka aku selalu pulang terakhir untuk menyapu kelasku dan sekedar menghapus coretan di papan tulis.
“Lho, kamu belum pulang?” sapa Pak Guru yang datang dengan membawa tumpukan kertas.
“He..he…he, belum Pak” jawabku.
“Begitu dong nyapu, biar jadi anak rajin.”
“Iya, pak. Sambil mencari INSPIRASI, secara saya kan calon penulis beken. The next Rendra ha..ha..ha.”
“Hmm boleh juga cita-citamu itu, kutemani deh.”
“Gitu dong Pak, bapak duduk saja di kursi itu. Bagian situ sudah saya bersihkan.” Aku menunjuk kursi paling depan di dekat pintu.
Beliau duduk dan meletakkan tumpukan kertasnya di meja.
“Pak, sambil nunggu saya nyapu. Cerita dong tentang kunci sukses jadi sastrawan beken .”
“Wah..wah..saya ga pernah jualan kunci, dan saya kan bukan sastrawan beken he..he..he” jawab beliau sekenanya.
“Yaah” jawabku kecewa.
“Oke, tapi saya ada cerita tentang 7 hal yang bisa membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Mau saya ceritain ga?”
“Lha ya jelas mau pak.” Aku setengah berteriak karena sekarang posisiku berada agak jauh dari beliau.
“Hmmmm, begini ceritanya….”
“Yang agak keras pak, saya ga kedengaran” pintaku dari deretan kursi-kursi di tengah kelas.
“Malam itu udara cukup dingin, aku menuju salah satu kompleks tentara yang terletak di sebelah timur Kota Malang. Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan tinggi untuk mengejar waktu, aku berjanji untuk menemui guruku malam ini. Beliau sedang ada kunjungan di Malang dan aku tidak menyia-siakan kesempatan ini. Sesampainya di tempat tujuan, aku melihat sudah ramai orang berkumpul berbincang-bincang di dalam ruangan. Kursi sofa yang tertata berbentuk huruf U itu sudah penuh diduduki oleh orang-orang yang datang sebelum aku. Kuucapkan salam, lalu kucium tangan guruku yang hari itu menggunakan kaos putih bergaris hitam dan jaket hitam di bagian luarnya. Tamu-tamu lain menjabat tanganku dan kemudian satu kursi tambahan disediakan untukku. Aku segera duduk dan mulai diperkenalkan dengan orang-orang yang berada di ruangan. Setelah perbincangan basa-basi maka guruku memperbaiki sikap duduknya dan mulai menatap serius ke arah kami semua.
“Ada hal penting yang ingin aku sampaikan pada kalian. Suatu hal yang selama ini telah kupikirkan dan kurenungkan selama masa hidupku ini.”
Segelas air mineral dihidangkan di depanku.
“Setelah aku puluhan tahun mengenyam kehidupan, aku menemukan bahwa ada 7 kunci yang akan membawa kalian untuk menjadi orang yang lebih baik.”
Angin berhembus kencang di luar, dan pintu pun kami tutup agar tidak membawa dampak buruk bagi kesehatan guru kami.
“Harap kalian ingat dan lakukan 7 kunci ini.”
“Yang pertama adalah hiasilah hidup kalian dengan SENI. Karena seni akan memperhalus jiwa dan pekerti kalian. Temukanlah seni yang kalian sukai lalu kelola seni tersebut.”
“Yang kedua adalah isilah hidup kalian dengan ILMU. Karena ilmu akan membuat kalian menjadi bijak, mengerti akan yang baik dan buruk.”
Kami serempak mengangguk-angguk.
“Yang ketiga beKERJAlah, karena dengan bekerja maka kalian akan bermanfaat bagi orang lain.
“Yang keempat ikutilah dan aktiflah di ORGANISASI. Dengan berorganisasi kalian akan mampu berempati dan belajar rela berkorban untuk kepentingan orang lain.”
“Yang kelima rajinlah berOLAHRAGA, jangan memanjakan tubuh kalian. Tubuh ini perlu diolah dan dijaga kesehatannya. Walaupun sudah menjadi kewajaran bahwa kita ingin tidur enak, makan kenyang, dan bersantai-santai. Tapi jangan terlena, kalian harus menggerakkan tubuh dengan olahraga.
“Yang keenam, perdalam TASAWUF. Dengan tasawuf kalian akan menyucikan dan memurnikan ibadah kalian. Tasawuf akan meningkatkan cinta pada Allah dan mendekatkan kalian PadaNya.
“Yang ketujuh, ini adalah tingkat tersulit yang akan kalian tempuh.”
Kuminum air mineral di depanku.
“Tegakkan DISIPLIN. Mendisiplinkan diri kalian untuk melakukan 6 hal di atas bukanlah perkara mudah, lakukan berulang-ulang dan yakinlah pasti kalian bisa.”
Kami menyimak dengan sungguh-sungguh apa yang dikatakan oleh kiai kami. Dan setelah itu beliau pun menyeruput kopi yang dihidangkan.
“Tampaknya, waktu sudah mulai larut. Saya harus undur diri dulu dari sini.”
Beliau bangkit dan kami pun bersalaman dengan beliau. Setelah kami mengantarkan beliau pulang kami membahas tentang 7 kunci yang diberikan beliau tadi.
Kulirik jam di hpku, waktu sudah mendekati dini hari. Aku pun undur diri dari pertemuan di kompleks tentara tersebut.
“Begitulah” pungkas Pak Guru mengakhiri ceritanya.
“Sebentar-sebantar mau saya catat dulu apa saja tadi kunci-kuncinya pak?” aku mengeluarkan buku tulis dan pena dari tasku.
“Yee, ga bias di ulang. Biaya repeat mahal ha..ha…ha” beliau tergelak lalu keluar.
Aku sontak menaruh sapu yang sudah tuntas mengerjakan tugasnya di balik pintu, menutup pintu kelas lalu berlari menuju Pak Guru yang sudah berada di tengah lapangan voli.
Malang, (17/01/11)
Thanks for Saudara-saudara Wahidiyah dan Pak Kiai n Ajid.

*dapat dilihat juga di http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2011/01/18/serial-perbincangan-guru-dan-murid-7-kunci-menjadi-lebih-baik/

Setelah tetunda beberapa saat, pembangunan gedung baru DPR akhirnya terealisasi. Pemerintah bersama DPR sepakat mengalokasikan dana sebesar Rp 800 miliar dalam APBN 2011 untuk membangun gedung baru bagi wakil rakyat (Kompas, 05/01/11). Dana yang sangat besar untuk memfasilitasi wakil rakyat yang tak kunjung menunjukkan manfaatnya bagi rakyat. Tentu kita miris dengan hal ini karena sebenarnya gedung DPR saat ini masih layak pakai. Gedung itu masih jauh dari bobrok sehingga perlu diganti dengan gedung baru.
Rakyat sudah mengkritik pembangunan gedung baru ini karena dinilai menghamburkan uang. Gedung baru tidak menjamin peningkatan kinerja dari wakil rakyat. Dan dana proyek sebesar itu sangat rawan dikorupsi. DPR seakan-akan tak kapok menjadi sorotan rakyat, setelah penganggaran rumah dinas yang mubadzir. Usulan dana Rumah Aspirasi juga sudah dinilai akal-akalan untuk mengeruk uang rakyat. Kini rakyat harus menelan pil pahit lagi dengan realisasi pembangunan gedung baru DPR.
Kalau saja pemerintah dan DPR kita punya sedikit saja empati, tentu akan lebih dihormati rakyat. Dana sebesar ratusan miliar itu sebenarnya bisa digunakan untuk tambahan bantuan di daerah yang baru terkena bencana seperti Wasior, Mentawai, dan Merapi. Sudah saatnya Negara menambah dana antisipasi dan penanggulangan bencana. Agar perasaan nyaman dan tenteram tidak hanya dimiliki oleh anggota DPR saja tetapi juga oleh rakyat banyak.