Kala hujan tak bosan-bosannya membasahi genting rumah orang tuaku, aku yang sedang asyik membaca di kamar dikagetkan dengan sebuah ketukan yang ternyata dari ibuku. Beliau bertanya apakah aku sudah makan, dan memang dari pagi aku belum memakan apapun kecuali brownies yang dibawa adikku tadi malam. Ibu pun menawarkan menu spesial hari ini, makan siang dengan nasi dan tempe penyet. Aku pun mengamini saja penawaran beliau, dan tak begitu lama ternyata menu spesial itu pun siap disantap. Nasi siap di tempatnya dan di sebelahnya terdapat tumpukan tempe menggoda pikiranku untuk segera bersantap dan di cobek tanah liat yang sudah bertahun-tahun setia di rak tempat makan ibu sudah terisi penuh oleh sambal ulek khas buatan ibu yang rasanya tiada duanya di seantero jagat. Aku pun segera mengambil piring dan sendok serta mulai memasukkan nasi dan tempe serta sambal ke dalam piring. Setelah semuanya lengkap aku mulai memakannya, di saat lidah dan perutku terbuai oleh isi piring di tangan, tiba-tiba muncul pikiran bahwa ternyata kita sebenarnya sudah cukup kenyang dan puas hanya dengan beberapa centong nasi, sesendok sambal dan sepotong tempe untuk makanan kita. Lalu mengapa kita harus berbuat “neko-neko” dalam hidup ini bila ternyata kita sebenarnya mampu hidup sederhana, mengapa kita selalu memaksa mulut dan perut ini untuk dimasuki oleh makanan mahal dan mewah bila ternyata dengan sepiring nasi, sambal dan sebuah tempe kita sudah sama kenyangnya dengan memasukkan makanan bertarif mahal. Lalu mengapa kita rela berbuat apa saja, berkata dusta, menipu dan memanipulasi orang lain hanya untuk mendapatkan rupiah bernilai jutaan, puluhan juta atau bahkan ratusan juta bila toh ternyata mulut dan perut ini pun cukup diberi sepiring nasi,sambal dan sepotong tempe yang harganya tak lebih dari selembar uang lima ribuan. Tak terasa piringku sudah kosong, entah mana yang harus kuucapkan lebih dahulu rasa syukur atas rezekiku hari ini atau penyesalan karena hal-hal buruk yang telah kulakukan untuk mengejar duniawi selama ini. Bersamaan dengan kucuci piringku, aku hanya berharap Tuhan mau untuk mencuci kesalahan-kesalahanku.
Alhamdulillah (Malam,pertengahan Syawal 1431 H)
*artikel bisa dilihat juga di www.abawonos.blogspot.com