Bila ada hari Kartini apakah Ada Hari Kartono? (Bag 1)
16.47
Ia masih ingat, setiap kali berkunjung ke rumah panggung yang dindingnya terbuat dari bambu itu, ia selalu dicium dan diusap kepalanya. Eyang Sosro sering berpuasa. Jika tak berpuasa, ia jarang makan. "Eyang sering hanya minum air kelapa," tutur Kartini.
Meski separuh lumpuh, Kartono--begitu RA Kartini dan adik-adiknya memanggil--masih menerima ratusan tamu yang datang dengan berbagai kepentingan, mulai dari sekadar meminta nasihat, belajar bahasa asing, hingga mengobati berbagai macam penyakit.
Pada setiap pengobatan, Kartono biasanya memberikan air putih dan secarik kertas bertulisan huruf Alif (singkatan dari Allah) kepada pasien. Kartini Pudjiarto masih menyimpan lukisan sederhana berbingkai kayu yang berisi goresan Alif di kertas putih pemberian Eyang Sosro. "Katanya buat jaga-jaga," ujar Kartini.
Ada pula secarik kertas putih yang berisi nasihat Eyang Sosro bertulisan "Sugih tanpa banda / Digdaya tanpa aji / Nglurug tanpa bala / Menang tanpa ngasorake" (Kaya tanpa harta/ Sakti tanpa azimat/ Menyerbu tanpa pasukan/ Menang tanpa merendahkan yang dikalahkan) yang ditempel dengan selotip di dinding. Ia juga menyimpan tongkat Kartono, yang merupakan jatah warisan keluarga yang dibagi-bagi setelah sang eyang meninggal.
Air putih, huruf Alif, nasihat-nasihat hidup yang ia tulis dalam bahasa Jawa, dan laku berpuasa berhari-hari, adalah bagian dari "wajah mistik" Sosrokartono, orang Indonesia pertama yang terjun ke medan peperangan di Perang Dunia I di Eropa sebagai wartawan. Selama 29 tahun, Sosrokartono lebih dikenal sebagai seorang intelektual yang disegani di Eropa. Ia kerap dipanggil dengan sebutan De Javanese Prins (Pangeran dari Tanah Jawa) atau De Mooie Sos (Sos yang Tampan).
Ia mengembara ke beberapa negara. Mula-mula ia belajar di Delft, Belanda, lalu pindah ke Universitas Leiden, bergaul dengan kalangan bangsawan Eropa, kemudian menjadi wartawan perang. Ia juga pernah menjadi staf Kedutaan Besar Prancis di Den Haag, bahkan sempat menjadi penerjemah untuk Liga Bangsa-Bangsa. Kartono pada akhirnya memutuskan
pulang ke Indonesia mendirikan perpustakaan dan sekolah. Seperempat abad sisa umurnya kemudian ditambatkan sebagai seorang spiritualis. (Bersambung ke tulisan selanjutnya)
ditulis oleh : Yos Rizal S., Nurdin Kalim, Kurie Suditomo, Evieta Fadjar, Ahmad Fikri,
Sohirin, L.N. Idayanie, Arif Bawono Surya
">
0 komentar