The Conversation : 2 Men in 1 Room
08.24
Laki-laki seperempat abad itu duduk di ruang pribadinya, sebuah meja kayu berukuran lumayan besar terhampar di hadapannya. Kepala dan punggung kurusnya menempel pada sandaran kursi. Kaki kanan menyilang di atas kaki kiri, tangan kanan lelaki itu menggosok-gosok pelan bagian bawah bibir, seakan sedang berpikir sesuatu. Matanya memandang lurus ke depan, di mana dua orang kakak tersayangnya sedang beradu argumen. Mereka bukan sedang memperebutkan sesuatu, tetapi mereka sedang beradu argumen tentang nasib seorang wanita yang telah melukai hati adiknya. Seorang pria yang juga kurus, berambut tipis, matanya merah seperti orang baru menangis duduk di sebelah kiri lelaki itu. Namanya adalah Sogie. Sedangkan seorang pria yang sudah nampak berumur duduk berseberangan meja dengan Sogie. Beberapa rambutnya sudah memutih, kacamata tipis juga menempel di wajah lembutnya, dan dia memiliki keteduhan di bola matanya. Nama pria itu adalah Budi. Purnama menyapa dari balik dinding kaca ruang pribadi lelaki seperempat abad itu. Hari ini akan terjadi gerhana total. Angin berembus dengan kencang di luar, membawa lari daun-daun jalanan.
“Ini penghinaan tau!, bagaimana mungkin seorang wanita bau kencur mempermainkan hatimu. Merobek-robek perasaanmu. Ini tidak bisa dibiarkan, harus DIBALAS!” teriak Sogie.
Lelaki seperempat abad itu memandang dengan tatapan kosong kakak tercintanya itu. Yang memang memiliki temperamen keras.
“Tidak begitu juga Sogie, kita harus melihat masalah ini secara wajar. Proporsional, adik kita ini sudah dewasa. Harus bisa memandang persoalan secara utuh. Jangan emosional” tutur Budi.
“EMOSIONAL?? Siapa yang ga emosi diperlakukan begini? Adik kita ini (tangan Sogie teracung ke muka lelaki itu) sudah melepaskan semuanya. Demi wanita itu. Dan kini apa yang diperbuat oleh wanita itu? Lari di pelukan pria lain. Sungguh tak PANTAS.” Sogie membalas dengan suara keras.
“Bagaimana kau bisa tahu bahwa wanita itu lari dipelukkan pria lain? Mungkin dia hanya bingung dan mencari sandaran sementara yang nyaman bagi dirinya” Budi menjawab dengan suara kalem.
“Sandaran sementara? Enak sekali dia mencari sandaran sementara. Dia pikir dia bisa seenaknya berganti-ganti sandaran? Padahal dia sudah berkomitmen di awal, mengucapkan janjinya pada adik kita. Ngapain dia ngejar-ngejar adik kita kalau hanya kemudian mencampakkannya. Dia bisa enak mencari sandaran, lha adik kita mau bersandar pada siapa?” Sogie membalas dengan ketus.
“Adik kita masih punya kita berdua, keluarganya. Dan dia masih punya Tuhan tempat bersandar. Saya kira wanita itu tidak sedang mencampakkan adik kita. Dia hanya butuh waktu” ucap Budi sambil melihat ke arah lelaki yang kini mengalihkan pandangannya pada purnama.
Fase awal gerhana mulai nampak, dihirupnya hawa purnama, masuk melalui hidung, tenggorok, dada, dan diteruskannya ke perut, tempat solar flexus bersemayam, organ tak kentara dimana dia biasa menyembunyikan semua emosi disana. Mata lelaki itu tertutup, mencoba mengisi tubuh, pikiran dan hati dengan energi positif purnama.
“WANITA, dimana pun sama. Hanya makhluk kelas dua, tidak punya arti penting, dan selalu saja mengganggu tugas laki-laki. Mereka suka terbawa emosi, menggoda dan kemudian bagian yang paling mereka sukai adalah MENCAMPAKKAN seseorang” Ucap Sogie berapi-api.
Budi menghela nafas
“Kamu boleh saja meremehkan wanita, menomorduakannya, atau bahkan menyepelekannya. Tapi Kamu tidak akan pernah bisa membantah, bahwa dari rahim-rahim wanita lah, lahir lelaki-lelaki hebat. Termasuk kamu.” jawab Budi.
“Ha..ha, laki-laki hebat itu karena usahanya sendiri dan tak perlu kita pungkiri. Sudah menjadi kebiasaan wanita lancang untuk mengobrak-abrik hati, merampoknya, dan meninggalkan jejak-jejak penuh luka di dasar hati para laki-laki. Lihatlah apa yang dilakukannya pada adik kita. Meninggalkannya dengan hati remuk. Sebelum wanita itu masuk ke kehidupan adik kita. Adik kita punya kehidupan yang normal, menjalin hubungan yang baik dengan wanita lain. Tapi liat apa yang dilakukan wanita ini? Dia masuk, merebut, dan menghancurkan perasaan adik kita. Tak ada kata maaf lagi untuk dia” suara Sogie berdesing bagai senapan mesin.
Budi hanya menggelengkan kepala mendengar penuturan Sogie.
“Kau sudah memaafkannya bukan dik?” tanya Budi.
Lelaki seperempat abad itu diam mematung, tidak mengangguk ataupun menoleh. Bibirnya terkunci rapat. Dilihatnya Sogie mengeluarkan sebatang rokok, diketukkan ujung rokok ke meja dua kali dan mulai dinyalakan. Asap tipis membelah udara, ada dorongan dari si lelaki seperempat abad itu untuk meminta rokok pada Sogie. Ingin dia melampiaskan kekesalannya pada sebatang candu legal itu, like the old time. Tapi dia urungkan niat itu.
“Dik, kamu sudah memaafkannya bukan?” ulang Budi.
Yang ditanya tetap tidak menjawab, wajahnya mengarah ke purnama yang kini nampak memerah karena gerhana total sedang terjadi. Ditutup kedua kelopak matanya. Dia tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu.
“Ini hanya masalah waktu, sampai hilang sakit di hatimu. Tapi kakak minta please, forgive her, forgive yourself too. Tidak ada guna bila kau terus berkubang pada perasaan ini. Time will be answer”.
“Hah, time will be answer? Yang ada adalah dengan bertambahnya waktu, bertambah pula sakit di hati adik kita ini. Kau tau bagaimana adik kita akan menjalani kehidupan selanjutnya? Bagaimana adik kita harus bersikap bila bertemu dengan wanita itu? Dia tidak akan kuat menahan hal-hal seperti itu, hatinya masih selemah dulu. Selemah saat dia melihat anak kecil dan orang tua pengamen di jalanan dan dengan bodohnya dia serahkan seluruh uang jajannya untuk mereka. Hal-hal bodoh yang dia bilang kasih sayang” Sogie sewot.
Kali ini Budi memandang dengan tajam ke arah Sogie.
“Rasa kasihan, rasa cinta, rasa iba dan semua hal-hal yang kau anggap bodoh itu pada dasarnya adalah sama. Itulah rasa KASIH SAYANG. Tidak ada alasan untuk menganggapnya hal bodoh, itulah karunia indah dari Tuhan. Induk burung terbang keluar sarang mencari makan bagi anaknya, orang-orang tua pergi pagi pulang sore untuk bekerja, ataupun pengorbanan suami demi belahan jiwanya itulah yang menyebabkan dunia ini terus bergerak”.
Budi meraih tangan adiknya dan mulai menggenggamnya dengan hangat seraya berkata.
“Adikku kini semua keputusan ada di tanganmu, kami hanyalah pemberi saran bagimu. Pada akhirnya inilah hidup yang harus kau jalani” Budi berkata dengan sabar.
Lelaki seperempat abad itu menelengkan kepalanya ke kanan. Matanya masih terpejam, tidak ada perkataan yang keluar dari bibir itu.
“Jangan kau biarakan dia melukaimu dan menyakitimu lagi adikku. Cukup sudah semua hal yang wanita itu lakukan padamu” Sogie mengompori.
“Tanyakan pada hatimu adikku, Tuhan menciptakan luka dan rasa sakit bukan agar kita menghindarinya. Bukan. Tetapi agar kita merasakannya kemudian menjadikan diri kita lebih kuat dari sebelumnya. Kamu dan wanita itu telah melewati beberapa badai, dan kalian telah membuktikan bisa melewatinya berdua. Kini badai besar sedang menanti kalian. Kamu dan dia hanya perlu menguatkan hati melawan badai besar ini, dan yakinlah bila badai telah lewat maka langit biru dan mentari yang hangat akan menyambut kalian” Budi mencoba menguatkan hati adiknya itu.
Lelaki seperempat abad itu, membuka matanya. Saya telah mengambil keputusan, batinnya. Diambil pena dan kertas dari tas cokelat di sampingnya, digesekkan pena itu dengan tangan kurusnya. Setelah itu wajahnya beralih ke purnama yang perlahan bersinar karena fase terakhir gerhana telah lewat. Nafas pelan dan panjang berhembus dari hidungnya, dirasakan sensasi hangat menjalari tubuh dan hati. Kemudian dia bangkit berjalan pelan ke arah pintu keluar meninggalkan kursi dan tulisan di atas meja. Kedua kakaknya juga bangkit melonggokkan kepala ke atas meja kayu dan melihat tulisan. “Tolong kakak-kakak doakan agar saya kuat, I Will wait her for 365 days and again”.
Kamar, Subuh
21 Juni 2011
*mohon dibaca dengan pikiran positif ya, saya tidak sedang menyindir siapapun baik lelaki atau perempuan. Saya hanya menyindir dan menyadarkan diri saya pribadi. ^_^
0 komentar