Setiap menjelang berakhirnya Ramadahan tentu kita diwajibkan untuk membayar zakat fitrah. Begitu juga di keluarga saya, kami biasanya membayar zakat fitrah menjelang akhir Ramadhan (biasanya H-1, maklum keluarga ngaret he3).
“Sur, mana zakat fitrahmu? Kamu zakat beras apa uang?”, tanya ibuku.
“Beras bu”, jawabku. (walaupun pada akhirnya saya berikan uang karena beberapa pertimbangan)
“Oh ya wes, kalau mau titipin ibu saja. Tak berikan Bu lek Da”.
“ Lho, kok bukan Bapak e Mamat?” tanyaku.
***
Karena keluarga saya cukup banyak, ada setengah lusin anak dan sepasang orang tua maka zakat yang dikeluarkan pun cukup lumayan. Biasanya kami bagi, beberapa kami taruh di langgar dekat rumah dan beberapa kami berikan pada “Bapak e Mamat“. Bapak e Mamat? Ya kami menyebutnya dengan sebutan itu. Mamat adalah salah satu anak yang tinggal di kampung seberang jalan rumah kami. Cukup jauh sebenarnya, dia tinggal di gang 17 sedangkan kami tinggal di gang 10. Dia anak kembar, saya lupa siapa nama saudara kembarnya. Sejak SMP anak kembar itu tinggal dengan bapaknya yang sakit-sakitan. Mereka sebenarnya pendatang, entah dari mana saya tidak begitu tahu detailnya, tapi yang saya tahu mereka harus menghadapi hidup yang sangat sulit. Sang ayah sakit-sakitan dan tidak bisa bekerja, sedangkan kedua anaknya yang masih SMP itu manalah bisa diandalkan untuk mencari uang.
Mereka tinggal di rumah yang sebenarnya tidak pantas disebut rumah, karena rumah mereka itu dulunya adalah bekas WC umum di kampung itu. Karena mereka kesulitan tempat tinggal maka beberapa orang warga mempersilakan keluarga kecil itu untuk menggunakan bangunan bekas WC sebagai tempat tinggal mereka. Bangunan itu cuma berukuran 2x3 meter, dan di sanalah mereka bertiga hidup berhimpit-himpitan. Saya tidak tahu bagaimana mereka menjalani keseharian mereka. Terkadang saat saya diajak kesana untuk memberikan sumbangan, saya hanya menunggu di depan gang. Saya tidak pernah mau ke tempat tinggal mereka, saya terlalu lemah hati kalau melihat keadaan mereka. Kakak saya yang lebih ”tatag“ saja kadang masih menangis melihat keadaan mereka apalagi saya.
Mereka hidup dari belas kasihan warga sekitar, dulu saat warung ibu saya berada di gang 17 setiap sore ibu selalu menyisakan sayur untuk diberikan pada Mamat bila dia lewat depan warung. Mamat anak yang baik kadang dia kerja serabutan di warga kampung, sekedar mendapatkan uang untuk makan. Dia juga rajin sekolah dan mengaji, berbanding terbalik dengan adik kembarannya yang sering ikut anak-anak kampung melakukan kegiatan ga jelas bahkan sempat ketahuan mencuri beberapa rantang milik warga yang punya usaha katering. Memang hanya rantang yang dicuri tapi efeknya sungguh besar, beberapa warga yang tega hati mengompori warga sekitar untuk tidak lagi membantu keluarga Mamat. Dari kejadian itu memang sempat saya dengar keadaan Mamat semakin sulit tapi untunglah beberapa orang kampung tetap memperhatikan mereka. Bahkan Mamat diberikan beasiswa untuk masuk di salah satu sekolah menengah atas di kota malang.
***
“Bapaknya Mamat sudah meninggal“, jelas ibu saya.
“Kasihkan Mamat saja kalau begitu bu“, ucap saya.
“Mamatnya udah kerja“.
“Kerja dimana?“.
“Di tukang gas, yang biasanya ngirimin ibu gas. Yang mobilnya juueeelek itu lho“.
“Oooh, lha adiknya?”
“Adiknya nakal, jadi tukang parkir sekarang”
“Jualan sandal mas“ sahut adikku sambil setrika.
“Ibu kasihkan ke Bu lek Da saja, dia janda dan hidupnya sulit”, pinta ibu saya.
“Terserah ibu saja klo gitu”.
Dan begitulah uang serta beberapa kilo beras itu pun kini berpindah tangan bukan lagi ke Bapak e Mamat.
Syukurilah kehidupan kita sesulit apapun yang kita rasakan sekarang, karena masih buuanyak orang lain yang hidupnya lebih susah daripada kita. Alhamdulillah.
Malam 1 Syawal 1432 H.