Miller
09.53
-Surabaya, Ramadhan
Akhir beberapa tahun lalu.
Malam itu bulan sudah
bertengger dengan cantiknya di sela-sela awan malam. Udara Surabaya masih
panas, “Sumuk” kata orang jawa. Badan rasanya penat semua, bekerja lembur
memang tak pernah menyenangkan. Kulirik jam di dinding kantor, sudah lumayan
larut tapi rekan kerjaku tak kunjung turun dari lantai dua.
Ngapain sih anak ini
pikirku. Ga tau apa perut sudah keroncongan. Tidak lama kemudian rekan kerjaku
itu turun sambil menyunggingkan senyum.
“Lama amat sih,
ngapain saja di atas”.
“Duileeh, ga usah
marah kenapa, tadi di atas lagi beres-beres dulu biar rapi Bos Rofiiik”.
“Perutku sudah protes
ini, tadi cuma sempat makan takjil saja”.
“Iya..iya, kutraktir
deh. Tahu lontong di pertigaan”.
“Beneran lho ya?”.
“Iya, mumpung baru
aja dapat bonus, hahahaha”.
“Kamu enak ya selalu
dapat bonus di akhir bulan, gajiku selalu tak cukup untuk 1 bulan”.
Temenku yang bernama
Tiyok itu senyum kecil mendengar gerutuanku.
Kami masuk mobil,
sedan hijau yang kami naiki telah melaju ke warung tahu telor di ujung jalan.
Setelah memesan 2 porsi kami duduk sambil menikmati teh hangat yang kami pesan.
“Aku pusing yok”,
ujarku curhat.
“Kenapa?”.
“Uang gajiku kayaknya
kurang, selalu ga cukup buat kebutuhan sehari-hari. Sedangkan kamu masih bisa
traktir-traktir aku makan-makan”.
Tiyok tertawa
terbahak-bahak mendengar curhatku.
“Duilee, Cuma tahu
telor juga. Aku Cuma lebih kaya 20.000 rupiah dari kamu”.
Aku Cuma ketawa
mendengar cara dia ngeles. Tiba-tiba dia bangkit dari tempat duduknya Fik, ayo
deh ikut.
“Kemana?”
“Ke minimarket depan,
sambil menunjuk ****mart di seberang jalan. Toh tahu telor kita belum jadi
juga”.
“Ngapain?”.
“Udah ikut aja”, perintahnya.
Aku seperti kerbau
dicocok hidungnya mengikuti langkahnya.
Sesampai di
pelataran, bukannya masuk minimarket tersebut dia malah berbelok ke tukang
miller di pelataran parkir minimarket itu.
Buset, mau beli
kerupuk miller saja di Tiyok minta anter gerutuku.
Si penjual kerupuk
miller itu bapak-bapak yang cukup tua, memakai baju baik lengan panjang kusam.
Di dalam kantong kerupuknya kulihat ada kotakan nasi. Mungkin baru diberi oleh
orang dermawan yang biasanya menjamur di bulan ramadhan.
“Berapaan pak
kerupuknya?” tanya Tiyok.
“2000 an satu bungkus
nak”.
Kulihat satu bungkus
berisi sekitar 5 kerupuk yang berasal dari ketela itu.
“Beli dua pak, Tiyok
mengeluarkan uang 5000”.
Penjual itu
menerimanya lalu mengeluarkan dompet butut bergambar Real Madrid. Diintipnya
sejenak
“Nak 5000 dapat tiga
ya?”, Ujarnya pelan.
“Sini pak saya ganti
uangnya”.
Tiyok meminta kembali
uangnya lalu meraba dompet di saku belakangnya
“Jualan segini banyak
berapa hari pak habis?”, tanya Tiyok sambil melihat-lihat isi dompetnya.
Aku melirik ke 2
gendongan besar plastic bening di pikulan yang berisi penuh miller.
“Ya kadang 2 bulan
baru habis nak”.
Tiyok memasukkan
kembali uang 5000 nya lalu mengeluarkan 100 ribuan.
Buset, Tiyok sudah
gila pikirku, 5000 aja dia ga punya kembalian masak malah dikasih 100 ribuan.
“Ini pak, saya beli
seratus ribu. Dapat 50 bungkus kan”.
Kulihat roman muka
kaget di muka penjual itu. Aku hanya melongo. Tangan penjual itu bergetar
menerima uang 100 ribu dari Tiyok
“Tolong dibungkusin
ya pak, saya mau makan tahu telor di seberang”.
Tiyok menepuk
pundakku,
Sampai di warung tahu
telor kami makan dalam diam.Tak lama kami selesai makan, penjual miller itu
mendekat ke kami sambil membawa 4 kresek besar berisi miller. Kulihat dari
jauh, 2 gendongan plastic bening yang semula penuh miller itu kini tergeletak
kosong.
“Ini nak, kerupuknya
saya tambahin 5 bungkus”.
Tiyok menerimanya
dengan senang hati.
“Terima kasih pak”.
Di jalan pulang aku
bertanya, "Mau kamu apakan miller sebanyak itu?".
“Gampang kalau itu,
tapi semoga kamu sadar kalau keadaanmu sekarang itu juaaaauh lebih baik dari
banyak orang. Bekerja di kantor, punya gaji bagus dan setidaknya punya masa
depan yang cerah. Coba kamu lihat penjual miller tadi, kemana-mana membawa 2
bungkus plastic besar berisi miller yang nilainya yaaah tak lebih dari 100 ribu
selama 2 bulan. Kau lihat 100 RIBU untuk 2 BULAN”.
Aku tersentak
mendengar apa yang barusan dikatakan temanku ini. Lalu aku tersenyum,
“Rupanya kau sekarang
sudah lebih kaya 100 ribu dari aku”.
Kami tertawa
terbahak-bahak di dalam sedan hijau.
*untuk para pedagang
yang tak kenal lelah menjemput rizki-Nya, yang lebih memilih berpeluh
menjajakan dagangan daripada mengemis menengadahkan tangan. Pengingat untuk
jiwa yang tak pernah puas dengan limpahan rizkinya. Alhamdulillah.
0 komentar