Perbincangan di tengah Sawah (Lambang bagian 1)

21.10


Kudatangi rumah dengan cat bewarna krem yang sudah lama lekat di kepalaku, dibeberapa bagian sudah Nampak cat yang mengelupas menunjukkan bagian dalam yang berisi semen. Pintu jati kuno dengan pegagangan bewarna emas masih setia menempel pada daun pintunya. Kulihat bel yang kabelnya sudah terjulur terputus, kuketok tiga kali sambil mengucapkan salam. Sekali kuucapkan Masih belum ada tanda-tanda orang yang menghampiriku, dua kali kuketok kudengar langkah-langkah ringan mendekat daun pintu dan pintu jati itupun terbuka lebar. Kulihat adik ponakanku yang sekarang sudah tumbuh menjadi remaja tanggung. Aku lemparkan senyum padanya, dan dia pun setengah kaget melihat kedatanganku. Lalu dia berteriak-teriak sambil setengah meloncat untuk memelukku, Ya sudah lama sekali aku tak mengunjungi desa ini, rumah ini, keluargaku, kakak perempuanku yang tinggal di pedesaan di lereng gunung Putri Tidur. Dulu saat aku libur aku sering sekali menginap disini, menikmati pemandangan dan menuangkannya dalam kanvas-kanvas lukisanku. Aku segera Masuk , meletakkan tasku yang berisi pakaian dan beberapa oleh-oleh untuk keluarga kakakku ini.
“ Kamu sudah besar.” ujarku saat melihat takjub kearah ponakanku, betapa waktu mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk mengubah anak kecil gemuk menjadi remaja tanggung yang lumayan gempal.
“Iya dong, kan makanannya 4 sehat lima sempurna. Pak Lek sendiri sekarang tambah guemuk, cocok sama makanan istri ya he.he.he.” ucapnya enteng
Kulihat lingkar pinggangku yang bertambah besar dan perut yang membuncit
“Ha..ha..ha, tau aja kamu kalo istrinya Pak Lek jago Masak .”
“Ibu sama bapak lagi di kebun, nanti sore baru pulang. Mau makan dulu Pak Lek ?.”
“Boleh deh Masak apa ibumu hari ini?.”
“Sayur lodeh sama dadar jagung.”
“Siiip.”
Tak lama kemudian denting sendok beradu dengan piring
“Pak Lek ….Pak Lek ….Pak Lek bangun sudah Ashar yuk sholat dulu.”
“Oh, iya ga terasa ya.”
Empat rakaat telah selesai kami jalani, kegiatan kami lanjutkan dengan kongkow-kongkow di teras
“Pak Lek , ngobrol disini ga asyik. Yuk ke sawah aja, nanti kukenalin sama guruku, beliau orangnya hebat deh, biasanya jam segini beliau di sawah.”
Aku berpikir sejenak, “guru yang hebat ya”
“ Ayo, kuambil jaket dulu ya.” ujarku
Kukenakan jaket army warna hijau yang kugeletakkan di sofa saat aku tiba tadi.
Lambaian padi yang setengah kuning menyapa kami di areal persawahan desa Selorejo.
“Nah, itu beliau sedang membaca.” Tunjuk adik ponakanku ke sebuah dangau/gubuk di tengah sawah.
“Assalamualaikum pak.” Sapa adik ponakanku pada seseorang yang mungkin sekitar 1-2 tahun di bawahku.
“Waalaikumsalam.” Jawab laki-laki itu
Dia menoleh padaku, tersenyum lebar sebentar dan menjulurkan tangannya untuk berkenalan setelah berbasa-basi sebentar kami mulai akrab. Dia menurutku sangat menyenangkan, memiliki selera humor yang tinggi dan sebagai guru pengetahuannya tentang hal-hal umum juga luas.
“Mas , kerja apa sekarang?.” Tanyanya padaku
“Saya pelukis, merangkap sebagai pembuat desain cover buku atau novel”. Jawabku
“Iya Pak Guru, Pak Lek ku ini pelukis yang handal. Dulu sebelum Pak Guru ada di sini Pak Lek ku ini sering ke sini untuk melukis. Lukisannya Top markotop deh”. Potong ponakanku seenaknya
“Ahh Cuma lukisan biasa saja, si bocah ini terlalu melebihkan. Dulu saya memang sering kesini untuk melukis obyek bunga, saya spesialis pelukis bunga”. Ujarku
“Oh begitu, mengapa memilih obyek bunga?”. Tanyanya balik
“Karena bunga itu memiliki makna tersendiri, bisa dijadikan sebuah lambang”. Jawabku
“Ya memang bunga bisa memiliki berbagai makna”. Ujarnya
“Maksudnya makna atau lambang gimana Pak Lek ?”. Tanya ponakanku
“Begini, Bunga-bungaan, kami katakan, mempunyai cara ekspresi mereka sendiri. Misalnya, bila temanmu memberikan sekuntum mawar yang ada daunnya tanpa duri, ini berarti bahwa pertemananmu atau keinginan menjalin hubunganmu dengan dia diterima dan engkau dijamin tak perlu khawatir atas hal ini. Dan bila bunga itu tanpa daun maupun duri, ini berarti berdiam diri, tidak jelas ya ataukah tidak. Tetapi bila sekuntum di antara dua putik yang belum mekar disajikan, ini menunjukkan bahwa cinta itu ada, tetapi, setidaknya pada saat ini, tetap tersembunyi dan tertutup. Memberi tanda ciuman pada bunga menunjukkan cintamu diterima, sedangkan dengan mematahkan dan membuang daunnya berarti ditolak. Bahasa dan leksikon dari bunga itu sungguh macam-macam. Di dalamnya, bila dedaunannya bicara tentang kemanisan dan kehangatan cinta, maka durinya menggumamkan bahasa perpisahan dan menyakitkan. Dalam keindahannya, setiap jenis bunga, daun, putik dan kuntumnya mempunyai satu bahasa Masing-Masing”. Aku memberikan penjelasan panjang lebar.
“ooh begitu, lalu apakah bisa arti dari lambang atau simbol itu berubah makna?”. Tanya ponakanku lagi.
“Klo itu kita tanya sama Pak Gurumu saja, gimana Pak Guru bisa ndak makna suatu lambang atau simbol berubah?.” Aku mengarahkan pertanyaan ini pada lelaki di sampingku
Dia termenung sejenak, nampak berpikir.
“Sebenarnya makna suatu simbol atau lambang bisa juga berubah pemaknaannya dalam rentang waktu tertentu dapat berbalik dari baik ke buruk atau sebaliknya”. Jawabnya mantap.
“Misalnya?”. Kali ini aku ganti bertanya
“Misaaaalnyaaa, nah misalnya tentang cincin kawin”. Dia menjawab sambil menunjuk cincin kawinku yang berasal dari emas putih.
Aku dan ponakanku spontan melihat ke arah jari manisku yang dari tadi tersandar di pinggiran dinding gubuk
“Sekarang ini cincin kawin melambangkan persatuan dari seseorang, pengabdian serta kehendak antara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang berikrar dalam ikatan perkawinan; bulan madu itu melambangkan kegembiraan, kemandirian mereka serta ‘meninggalkan semuanya yang lain-lain’. Namun, bila kita telusuri, kita dapati bahwa cincin itu melambangkan ikatan atau rantai yang diperuntukkan seorang budak. “Sekarang engkau dalam ikatanku, kehendak bebasmu berakhir hari ini” – bulan madu kita telusuri sebagai perkosaan terhadap seorang perawan muda dari orang tuanya oleh seorang muda yang keras hati, melarikannya ke tempat yang jauh dan sunyi untuk menikmatinya. Jadi kita bisa melihat betapa banyak lambang telah mengalami perubahan di tangan Masyarakat dan budaya yang berbeda, meninggalkan hanya bayangan dari maknanya yang asli”. Jelasnya
Aku terkesiap, teryata dia memang memiliki pengetahuan yang luas
“Lalu apa ada lambang-lambang yang dulunya baik sekarang dipandang buruk?”. Kali ini adik ponakanku bertanya.
Dia melihat ke arahku lagi
“Ada, contohnya lambang yang tergambar di lengan jaket beliau”. Tunjuknya
Semua pandangan mata tertuju pada lengan kiri jaket army ku yang terdapat simbol swastika nazi disitu
“Eeeh, sebelumnya aku mau menjelaskan. Aku bukannya pro-Nazi atau Hitler, aku hanya memakai jaket ini karena ini pemberian temanku saat aku memberi lukisan bunga untuk dekorasi distronya”. Aku menerangkan dengan sedikit tergagap karena tidak meyangka lambang kekejaman di lengan jaketku akan jadi topik utama.
“Tidak apa-apa, banyak Masyarakat yang memakai atribut tanpa mengetahui ada makna yang tersimpan di baliknya. Dan jangan khawatir sebenarnya simbol yang melekat di jaket anda adalah suatu lambang suci”. Dia menjelaskan
Aku tersenyum kecil, Sambil bertanya dalam hati “Lambang suci?.”
lalu dia melanjutkan
“Sekarang saya akan mencoba menyingkap rahasia yang mendalam dan sulit dari agama besar dunia, dan pada saat yang sama menyajikan telaah mendalam atas ilmu perlambang; sekarang saya akan mengungkapkan rahasia mistis dari Swastika, atau disebut juga Emblem dari Matahari yang Besar. Yang semoga dengan rahmat Allah, ini adalah penafsiran yang tepat. Swastika, yang barangkali digunakan secara geografis jauh lebih luas dan lebih universal dibanding lambang lain yang berkembang dari zaman kuno. Dan di dapati baik di dunia lama maupun baru. Meskipun penggunaannya dan maksud artinya berbeda, namun secara konsisten itu menjadi lambang kemakmuran, perlindungan dan kedermawanan bagi banyak kaum, baik yang kuno maupun kontemporer. Swastika digunakan di Inggris oleh bangsa Gaul dan Celt, pada koin, altar serta benda-benda sakral lainnya; di India, pada buku-buku di toko dan pada pot-pot hitam di ladang serta dangau penjaga kebun sebagai perlindungan terhadap tanaman; di Cina dan Jepang, pada tapak-tilas Buddha serta orang-orang suci lainnya (versi Swastika dalam Buddha ini tangan-tangannya bengkok ke kiri); di Athena, di dada dewa Apollo; serta penghormatan yang sama di Yunani, Kepulauan, Cyprus, Rhodes, Irlandia, Amerika Utara, Selatan dan Tengah”.
“ Lalu mengapa sekarang dimaknai sebagai symbol kekejian?.” Tanya adik ponakanku.

“Dari kejayaan begitu banyak kerajaan kuno ini, melalui takhayul serta kebrutalan abad kegelapan di Eropa, Swastika bertahan hingga abad pencerahan dan pengetahuan, lalu bangkit sebagai simbol dari filsafat dan doktrin yang carut-marut dari Adolf Hitler. Swastika yang tetap dan tahan uji, dilucuti dari kewibawaannya yang abadi, menjadi sinonim dengan superioritas bangsa Arya, kemenangan Arya, serta anti-semit dan anti segala sesuatu selain Arya. Dengan penghinaan yang berlebihan, dia nampak di tank, pesawat tempur, meriam, seragam perang, stempel dan bendera dari mesin perang Jerman, menjadi saksi kekerasan terhadap kemanusiaan oleh manusia. Syukurlah bahwa Naziisme dengan ancamannya yang luar-biasa kepada umat manusia telah bisa dimusnahkan, namun marilah kita membersihkan Swastika dari segala fitnah berupa segala dosa yang dilekatkan oleh banyaknya kejahatan yang berkembang pada waktu bangkitnya pembantaian oleh Hitler”. Jelasnya

Sayup-sayup kudengar orang memanggil-manggil namaku, kutolehkan kepalaku ke kanan dan kekiri. Teryata dua orang pasutri tengah mendekati kearah gubuk yang kami jadikan tempat diskusi. Mereka adalah kakak perempuanku dan suaminya. Teryata mereka telah pulang dan melihat tasku lalu karena baik aku maupun ponakanku tidak berada di rumah mereka beranggapan bahwa kami pasti ke areal persawahan dan teryata anggapan mereka tidak salah. Setelah sejenak melepas kangen karena telah 6 tahun tidak bertemu aku diajak mereka untuk ke rumah melanjutkan acara kangen-kangenan kami. Aku pun memandang ke arah lelaki di sampingku

“Nampaknya pembicaraan kita kali ini sampai disini, tapi saya Masihpenasaran dengan arti lambang swastika yang anda katakan sebagai lambang suci. Bagaimana kalau kita lanjutkan besok bincang-bincangnya?”. Ucapku
“Baiklah dan besok akan saya sajikan kepada anda ilmu dan hikmah yang terkunci dalam keempat tangan swastika serta mungkin hubungannya dengan agama kita, Islam”.
“Baiklah,sampai ketemu besok”. Aku mengucapkannya sambil berjabat tangan
“Swatika berhubungan dengan Islam?”. Pikirku dalam hati
Dan setelah semuanya memberi salam kami berempat beriringan kembali ke rumah.
(bersambung)
Kamar adik, awal November 2010

You Might Also Like

0 komentar

Instagram