Plat Merah mengukir Sejarah

18.44


Kebutuhan Untuk Merger
Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (perdagangan bebas di kawasan ASEAN) adalah momentum yang tepat untuk mengonsolidasikan BUMN. Jika tidak segera dilakukan, sulit menghentikan aksi BUMN milik Malaysia dan Singapura mencaplok bisnis-bisnis strategis di Indonesia. Dan untuk terjun ke persaingan global maka size is matter, semakin besar semakin baik. Perusahaan plat merah tidak bisa berpikir lagi untuk hanya berjuang di level lokal atau nasional saja. Tetapi harus berani mengasah otak dan melatih otot untuk siap bersaing dengan perusahaan-perusahaan internasional baik swasta ataupun sesama perusahaan plat merah milik negara lain. Dan untuk mampu bersaing maka BUMN-BUMN harus mulai berpikir ke arah merger BUMN sebagai salah satu jalannya. Dengan merger dan ukuran yang besar maka akan lebih kuat untuk berkompetisi di arena yang lebih besar lagi. Dengan melakukan merger maka secara skala ekonomis, kekuatan finansial dan efisiensi BUMN akan lebih baik. Hal itu sudah dibuktikan oleh Temasek yang pada dekade terakhir menjadi salah satu BUMN berskala internasional dan mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan internasional berskala besar. Temasek dengan ukurannya yang besar bebas melakukan ekspansi ke China, Eropa hingga Negara Paman Sam. CNOOC dan Sinopec milik China pun tak lagi takut beradu kekuatan dengan raksasa-raksasa Oil Company seperti British Petroleum (BP), Shell ataupun Exxon. Sesuatu yang sungguh bisa diteladani oleh Pertamina yang saat ini masih bergelut dengan kerugian yang diakibatkan tata kelola yang buruk selama berpuluh-puluh tahun. China yang sempat berkutat dengan perbaikan tata kelola BUMN nya kini mulai menerapkan konsep Grasp the large and let go the small. Dalam bahasa sederhananya Pemerintah China berfokus mengembangkan BUMN-BUMN besarnya dan memilih melepas BUMN-BUMN kecilnya. Mirip konsep yang dilakukan oleh Jack Welch dalam memperbaiki General Electric (GE) pada tahun 1981. Hasilnya kini BUMN-BUMN China tak lagi menjadi ayam sayur dalam persaingan internasional.

Merger memang bukan satu-satunya cara menjadikan BUMN kita mampu bersaing. Perlu restrukturisasi dan profitisasi. Akan percuma perusahaan di merger tapi profitnya masih negatif.  Meminjam istilah Jack Welch, Jadikan perusahaan nomor satu atau dua, jika tidak mampu menjadi nomor satu atau nomor dua maka perbaiki atau tutup. Evaluasi pada kinerja operasional dan finansial di masing-masing BUMN harus dilakukan dengan cermat, tepat dan tepat. Dari situ akan diperoleh mana BUMN-BUMN yang harus ditambah dana untuk meningkatkan daya saingnya, mana yang harus diperbaiki dan dibina serta mana yang benar-benar harus dimusnahkan atau dibinasakan. Tidak ada lagi pertimbangan bahwa BUMN  bisa disuntik dana terus menerus walaupun kinerja keuangannya tidak menunjukkan neraca positif. Restruksturisasi dilakukan dengan konsep landak dari Jim Collins dalam Good to Great  untuk memperbaiki skala usaha, penemuan kompetensi inti dan fokus bisnis. Dengan memakai konsep landak maka BUMN dapat berfokus pada kompetensi inti yang sangat dikuasainya dan melakukan profitisasi. BUMN-BUMN yang sudah tidak bisa diperbaiki bisa dilakukan privatisasi bila ada yang mau membeli. Bila tidak ada maka harus diambil langkah berani untuk menyuntik mati BUMN tersebut. Daripada menggelontorkan dana yang besar terus-menerus kepada perusahaan yang jelas-jelas tidak mendatangkan untung maka lebih baik dana tersebut dialokasikan untuk BUMN yang sehat agar lebih kuat bersaing secara finansial dengan perusahaan lain. Dana yang ada daripada dihabiskan dalam pasir hisap kerugian,  lebih baik diberikan pada BUMN yang sudah besar agar bisa di leverage melalui rekayasa finansial agar dana yang tersedia bisa bernilai berkali lipat. Tentunya dengan hal tersebut bisa menjadi salah satu faktor daya saing bagi BUMN kita. Dan dengan keadaan finansial yang sehat tentunya bisa juga menarik investor untuk turut menaruh investasinya. Pembentukan holding BUMN sebenarnya langkah untuk memurnikan pengelolaan BUMN, sehingga berbasis hukum korporasi. Saat ini, dasar hukumnya masih tumpang-tindih, antara hukum korporasi dan hukum publik. Sehingga, kadang-kadang risiko bisnis masih bisa dianggap merugikan negara. BUMN juga menjadi kurang lincah karena ada intervensi politik kedalam BUMN. Beberapa BUMN mengangkat komisaris dari tim sukses partai. Tentunya hal ini akan memberikan nilai minus karena publik menilai ini merupakan jalur non-profesional.

Beberapa BUMN secara mandiri memang ada yang mampu berhasil melakukan perbaikan. PT Kereta Api Indonesia (PT. KAI) di bawah kepemimpinan Ignatius Jonan mampu mengubah wajah perkerata-apian di Indonesia. Kereta Api yang identik dengan kesemrawutan, sering molor, bau rokok, dan kuno sukses dijungkir balikkan oleh Manajemen PT KAI di bawah kepemimpinan Ignatius Jonan. Kini PT KAI menjadi moda transportasi yang tidak hanya nyaman tapi juga sangat responsif dalam mengelola komplain dan menjaga customer relationshipnya melalui media sosial.  Garuda Indonesia juga berhasil melakukan turn-around karena pergantian manajemen yang tepat. Di bawah Emirsyah Satar manajemen Garuda mulai diisi oleh kalangan-kalangan profesional kelas wahid. Keberanian untuk menjadikan beberapa BUMN go public juga menjadikan beberapa BUMN seperti Bank Mandiri, BNI, PT Telkom menjadi lebih besar dan profesional.
Di level  Asia keajaiban juga terjadi di beberapa BUMN milik China yang melakukan merger yaitu China Petrochemical Corp, China National Petroleum Corp menduduki posisi teratas dalam urutan Fortune 500 dengan pendapatan masing-masing 2,88 triliun yuan dan 2,26 triliun yuan pada 2013. Demikian juga China State Construction Engineering Corp.
Fortune mencatat 29 financial institutions melaporkan profit sebesar 1,27 triliun yuan, atau lebih dari separuh  total profit ke 500 perusahaan yang disurvei. The "Big Four" bank BUMN nya  juga mencatat kemajuan penting. Industrial and Commercial Bank of China Ltd (ICBC) meraih keuntungan 262,6 miliar yuan pada tahun 2013.
BUMN-BUMN hasil merger berukuran raksasa seperti Petronas dan Khazanah (Malaysia), Temasek (Singapura), KNOC ( Korea Selatan), PTT (Thailand), Aramco (Saudi) semakin unjuk gigi di persaingan bisnis Asia.

Adakah Buktinya di Indonesia?
Keberhasilan dalam Merger BUMN bukan sekedar pepesan kosong di negeri ini, BUMN yang bergerak dalam industri pupuk telah menyajikan bukti yang nyata. Empat perusahaan pupuk Pupuk Kujang, Pupuk Iskandar Muda, Pupuk Kaltim, dan  Petrokimia Gresik) bergabung  dengan Pupuk Sriwidjaja menjadi PT Pupuk Indonesia Holding Company. Lalu industri semen juga memberikan bukti yang sangat mencolok, Holding Company di industri semen yang digawangi oleh Semen Gresik, Semen Tonasa dan Semen Padang menjadi Semen Indonesia Tbk telah mampu ekspansi ke Vietnam dan kini menguasai pasar semen regional, duduk di peringkat pertama dari sisi produksi atau setara 38,01% dari total produksi di kawasan. Melihat bukti yang nyata tentang keberhasilan Merger BUMN, maka Mantan Menteri BUMN yaitu Tanri Abeng juga menyatakan bahwa sangat perlu dibentuknya Holding Company di lima sektoral. Pertama, sektor energi dan tambang, di dalamnya antara lain ada Pertamina, PLN, PGN, Antam. Kedua, sektor infrastruktur seperti pelabuhan, bandar udara, transportasi, dan telekomunikasi. Ketiga, sektor lembaga keuangan, di mana semua bank dan non-bank digabung. Keempat, industri semen dan konstruksi. Kelima, industri pupuk dan perkebunan. Dengan merger BUMN di atas maka value-creation nya akan bisa mencapai Rp 5.900 triliun pada 2019. Jumlah yang cukup besar dan mumpuni untuk bisa bersaing dengan perusahaan manapun di dunia. BUMN-BUMN kecil difokuskan ke industri hilir sehingga mampu menciptakan lapangan kerja baru. Semisal Holding PT Perkebunan bergabung ditambah dengan perusahaan pupuk apabila  sudah di bawah holding, mereka akan lebih menarik di mata investor. Apabila ingin investasi, holding-nya tinggal pergi mencari investor. Pemodal melihat size holding-nya. Maka akan banyak lembaga keuangan berlomba-lomba ingin mendanai. , Indonesia juga bisa menjadi pengendali atau pengatur harga minyak sawit mentah (CPO) setelah menggabung PT Perkebunan Nusantara. Saat ini, Indonesia memang tak punya kekuatan menentukan harga meski menjadi salah satu produsen terbesar CPO.  Jadi, holding ini berperan sebagai kekuatan untuk investasi, pendanaan, logistik, pemasaran. Kementerian BUMN idealnya menjadi superholding sehingga ke depan tidak perlu ada Menteri BUMN. Banyak negara sudah menerapkan pola ini. Nantinya, CEO superholding ini bukan jabatan menteri tetapi setara dengan menteri. Penunjukan CEO pun seyogianya berdasarkan keputusan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).

Bukan Tanpa Kendala
Dalam melakukan merger tentunya akan memakan waktu yang tidak sebentar, bukan hanya masalah waktu tapi juga masalah keberanian dari pemangku jabatan untuk berani berubah dan meninggalkan zona nyaman saat ini. Merger BUMN harusnya dilakukan bertahun-tahun lalu tapi karena tidak adanya keberanian pemangku jabatan maka baru berhasil dilakukan tahun-tahun terakhir. Holding perusahaan semen yang berjalan sejak 1995 baru berhasil dilakukan pada tahun 2005 dan pada tahun 2012 baru bisa melakukan invasi ke negara tetangga. Di industri perbankan lebih rumit lagi. Rencana pemerintah untuk melakuakn merger Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Nasional Indonesia (BNI 46), Bank Mandiri dan Bank Tabungan Negara (BTN) tidak berjalan dengan mulus. Padahal kebutuhan untuk bank nasional yang besar sudah menjadi kebutuhan mendesak di tengah himpitan agresivitas bank-bank asing di Indonesia. Dari Data Bloomberg, per Desember 2013 pangsa pasar aset bank BUMN menyusut tinggal 36,7 persen dari 49,4 persen pada 1999. Aset bank asing, campuran maupun bank swasta nasional yang dimiliki asing naik dari 11,6 persen menjadi 36,5 persen. Pangsa pasar kredit bank BUMN juga menyusut dari 53,2 persen menjadi 36,6 persen, sedangkan pangsa pasar bank asing, campuran maupun bank umum swasta nasional yang dimiliki asing naik tajam dari 20,3 persen menjadi 35,1 persen Ada beberapa kendala untuk melakukan merger di dunia perbankan beberapa kendala itu antara lain :
 Tidak adanya kesamaan visi politik di pemerintahan sekarang adalah penyebab terbesar mandeknya rencana merger bank-bank pelat merah. “Kesulitan pertama, tidak sinkron antara BI (Bank Indonesia), OJK (Otoritas Jasa Keuangan), Kementerian BUMN, DPR, Kementerian Keuangan, dan Wakil Presiden (Jusuf Kalla).
- Resistensi dari jajaran manajemen bank. Kalau bank dimerger, maka puluhan direksi akan terancam kehilangan jabatan. Itulah kenapa banyak direksi bank yang menentang rencana ini. Meski begitu, pemerintah mesti berpegang teguh pada konsep holdingisasi, Indonesia Inc. super holding company yang memang sudah ada benchmark-nya di luar negeri, yang intinya mengarah ke perusahaan investasi. Bank-bank asing itu tidak sekadar masuk ke Indonesia. Tetapi juga membeli bank-bank Indonesia. Itu juga bisa dilakukan jika RI punya super holding company atau investment company seperti Temasek.
- Indonesia memiliki 147 BUMN yang tentunya memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk memilih dan memilah mana BUMN yang bisa dipertahankan, diperbaiki atau dilepas.
- Undang-Undang yang ada masih tumpang-tindih. Itulah kenapa banyak juga direksi perusahaan pelat merah yang khawatir. Aturan yang tumpang-tindih membuat BUMN, kalau untung akan menjadi keuntungan negara. Namun, kalau rugi dianggap merugikan negara. Itu yang bisa berujung pada sangkaan korupsi dan kriminalisasi kebijakan.

Pantaskah Perusahaan Plat Merah di perhatikan secara serius.
Paradigma Post Cold War 1979 memang sempat menghinggapi pemikiran di mayoritas ekonom di dunia. Anggapan bahwa sangat perlu untuk menghapus BUMN dari salah satu soko guru perekonomian negara menjadi mainstream ekonomi dunia. BUMN dianggap sebagai model sosialisme dengan pemusatan kekuatan ekonomi pada negara. Data-data yang pada masa itu tersaji juga menunjukkan, rata-rata BUMN tidak menghasilkan profit yang cukup dan menjadi beban bagi negara. BUMN-BUMN selalu berciri tidak efisien, menjalankan kegiatan yang bersifat monopolistik, menganggu anggaran pemerintah, selalu merugi, manajemennya amburadul, pelayanan yang lelet, karyawannya jadul, dan tidak responsif pada perkembangan jaman.
Tidak heran upaya besar-besaran di Eropa untuk menjual dan privatisasi  BUMN.  Dipelopori oleh Margaret Thatcher. Menyebar luaslah paham untuk pembubaran BUMN ke seluruh dunia, lalu dijadikan pedoman oleh IMF dan World Bank. Fokusnya adalah BUMN di sektor telekomunikasi, listrik, dan industri-industri besar.

Indonesia pun tak luput dari pemberlakuan paham tersebut oleh IMF pada saat dilanda krisis pada tahun 1998, IMF memberikan resep yang teramat sangat pahit, memaksa pemerintah menjual BUMN-BUMN yang dianggap tidak efisien. Indosat yang merupakan perusahaan telekomunikasi harus dilego pada tetangga sebelah, PT Dirgantara dipaksa merumahkan ribuan karyawannya karena neraca perusahaan yang tidak sehat dan Pertamina pun diusulkan agar dipecah menjadi dua.
Bank-bank plat merah dipaksa untuk merger, bank-bank milik pengusaha lokal dialihkan ke tangan asing. Jurnal-jurnal dan riset-riset ekonomi aliran IMF pun hilir mudik di aneka jurnal internasional. Mahasiswa dan pembelajar pun ditanamkan paham bahwa apapun yang namanya BUMN adalah inefficient.

Baru pada tahun 2005 muncul antithesis dari pandangan-pandangan di atas. Para peneliti menemukan fakta-fakta baru, BUMN ternyata tidak melulu tentang inefficient tapi bisa sangat powerfull. BUMN-BUMN di Asia ternyata bisa menjadi tonggak bagi perekonomian negaranya.
BUMN tidak selamanya dikelola oleh orang-orang tua dengan pandangan konservatif, tidak melulu lamban dan lelet dalam menangkap peluang . BUMN ternyata juga bisa dikelola secara profesional, terbuka, go public, bermitra dengan perusahaan global, mempekerjakan global executives, melakukan inovasi, bersaing di dunia internasional, dan menyumbang pajak dalam jumlah yang tak terkejar oleh siapapun di negerinya masing-masing.

Max Buge dkk (2013) menunjukan, 10 persen dari 2.000 perusahaan kelas dunia versi majalah Forbes adalah BUMN. Total sales 204 BUMN dari 37 negara ini pada tahun 2011 mencapai 3,6 triliun dollar AS atau setara dengan GDP Jerman.
Lima negara yang teratas yang peran BUMNnya penting menurut studi Buge itu adalah China, UEA, Rusia, Indonesia dan Malaysia. Jadi saatnya kita mendorong agar segera dilakukan merger BUMN dalam menyongsong era perdagangan bebas.

You Might Also Like

0 komentar

Instagram