Serial Perbincangan Sang Guru dan Muridnya (Perjalanan)

21.36


Mataku masih terasa perih saat naik di mikrolet jurusan Stasiun Kota Baru Malang, aku bangun sebelum subuh dan membereskan barang bawaanku yang kupacking dalam tas punggungku. Sesekali aku menguap dan memandang ke luar jendela mikrolet yang berjalan dengan malas. Kupandangi juga Pak Guru yang berada di sisi kiriku, keberadaanku di dalam mikrolet ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menemani beliau yang akan menemui salah seorang temannya di luar kota. Beliau mengajakku karena kebetulan hari ini adalah hari minggu, kami akan naik kereta api tujuan Kediri yang berangkat sekitar pukul 07.35 WIB. Sudah tak sabar aku untuk berada di dalam gerbong dan menikmati sensasi menaiki kereta api, alat transportasi yang mungkin bisa kuhitung dengan jari aku menaikinya. Mikrolet yang kami tumpangi berhenti tepat di taman kota Jalan Ronggolawe, setelah membayar dan mengucapkan terima kasih pada sopir mikrolet. Beliau mengandeng tanganku untuk menyeberang, loket pembelian karcis masih sepi hanya ada seorang wanita dan seorang laki-laki separuh baya yang sedang bertransaksi di depan loket. Pak Guru memberikan sebuah senyuman dan uang lembaran Rp 10.000 ke dalam loket dan keluarlah dua tiket kelas ekonomi untuk kami. Kulihat jam di dinding stasiun menunjukkan pukul 07.06 menit, kami masih harus menunggu setengah jam batinku.
Peron telah kami lewati dan pemandangan dalam stasiun terpampang di hadapan kami. Pak Guru mengajakku untuk mendekati salah satu toko yang menyediakan berbagai kebutuhan penumpang, mulai dari Koran dan majalah yang tergantung rapi di sisi toko, makanan, minuman, sampai benda-benda seperti kipas dan mainan untuk anak kecil. Pak guru membeli koran, dua botol minuman dan sebungkus kacang kulit serta sebungkus permen. Diberikannya salah satu botol minuman kepadaku dan segera kubuka segel untuk menikmati isi di dalamnya. Kami menyeberangi rel untuk menuju jalur dua yang merupakan jalur kereta jurusan Kediri akan berhenti. Sambil menunggu kuperhatikan pagi ini stasiun cukup ramai, penumpang dari berbagai macam usia, pekerjaan, jenis kelamin, dan latar belakang kehidupan bercampur baur di stasiun ini. 30 menit kami habiskan dengan menyimak warta-warta yang disajikan koran milik Pak Guru. Tak berapa lama terdengar pengumuman bahwa kereta Penataran jurusan Kediri akan segera datang. Aku melipat Koran yang ku baca dan segera berdiri sedangkan Pak Guru masih asyik dengan korannya. Menurut pengalamanku, kami harus berebut untuk masuk ke dalam kereta karena biasanya jumlah kursi dan penumpang kereta ekonomi tidak pernah sebanding. Kalau telat sedikit saja kami bisa tidak kebagian kursi dan harus berdiri. Saat kereta datang aku sudah berancang-ancang untuk bergegas, tetapi Pak Guru masih dengan tenangnya melanjutkan membaca koran. Baru setelah kereta benar-benar berhenti dan para penumpang berhamburan masuk ke dalam kereta beliau mengajakku masuk ke gerbong tengah.
Di dalam gerbong kulihat hampir seluruh tempat duduk sudah terisi, tetapi masih ada beberapa tempat duduk yang kosong. Rupanya para penumpang banyak yang terfokus di gerbong depan dan belakang sehingga gerbong tengah tidak begitu penuh sesak seperti di gerbong depan dan belakang. Kami mendapatkan tempat duduk bersama seorang nenek yang membawa buntalan kain batik dan seorang perempuan muda dengan tas besar warna coklat. Pak Guru meminta tasku dan meletakkannya di tempat tas yang berada di sisi atas tempat duduk. Tidak lama kemudian datang rombongan penumpang yang rupanya tidak kebagian tempat duduk di gerbong depan dan belakang. Pandangan mereka menyapu ke kanan dan kiri gerbong mencari-cari barangkali ada tempat duduk yang kosong. Tetapi nampaknya seluruh kursi di dalam gerbong kami sudah penuh. Maka mereka pun berdiri di antara kursi-kursi penumpang, kebanyakan dari mereka adalah perempuan yang mungkin karena postur mereka yang tidak begitu besar sehingga mereka kalah berebut kursi dengan para penumpang laki-laki.
Gerbong mulai bergerak, para penumpang yang berdiri mulai mencari posisi yang nyaman bagi mereka. Kulihat kesekelilingku, para penumpang perempuan banyak yang berdiri dalam hati aku kasihan juga tetapi mau bagaimana lagi, karena inilah resiko naik kereta harus mau berdiri. Pak Guru sekilas melihat ke sekeliling gerbong dan tidak lama kemudian beliau berdiri menghampiri salah seorang perempuan yang berdiri di samping kursi kami dan mempersilahkannya duduk di tempatnya. Beliau berdiri di samping kursiku dan memberikan senyuman. Aku bimbang sejenak, bagiku senyuman Pak Guru adalah sebuah kode. Sebuah kode yang mengelitik sisi kemanusiaanku, maka aku pun turut bangkit berdiri dan mempersilahkan seorang ibu yang mengendong bayinya dengan berdiri untuk duduk di kursiku. Ucapan terima kasih berulang-ulang diucapkannya sampai aku merasa tidak enak sendiri. Maka kami berdua pun berdiri untuk setidaknya 3 jam ke depan, lumayan juga pikirku sambil menghadap ke depan dan membuka koran yang dari tadi terlipat di tanganku.
Sudah sekitar 20 menit kuda besi ini melaju, aku berniat menukar lembaran koran yang kupegang dengan Pak Guru tetapi aku kaget saat melihat ke belakang. Teryata sudah tidak ada penumpang perempuan yang berdiri, ruang antar kursi sudah di penuhi laki-laki yang berdiri sambil menyenderkan tubuh mereka ke bagian samping kursi penumpang. Rupanya mereka juga telah menyerahkan kursi yang mereka duduki untuk para penumpang perempuan yang berdiri. Maka dalm hati aku berkata bahwa sebenarnya orang Indonesia adalah orang yang baik, mau mengalah dan mau berkorban. Mereka hanya butuh satu contoh, satu teladan untuk mengingatkan dan merubah mereka. Aku pun tersenyum melihat satu contoh dari Pak Guru bisa merubah pemikiran orang-orang di gerbong ini. Maka sepertinya 3 jam ke depan tidaklah begitu buruk bagiku.
******
Jam di stasiun sudah menunjukkan pukul 15.18 sebentar lagi kereta jurusan Malang akan datang . Air masih menetes-netes dari rambutku bekas dari wudhu untuk shalat asharku tadi. Pak Guru asyik berbincang dengan sesorang yang kudengar-dengar juga berasal dari Malang. Pengumuman telah terdengar dan kereta perlahan tapi pasti mendekat kearah kami. Seperti biasanya penumpang berebut naik. Kami pun menuju gerbong terdekat, Pak Guru melarangku berebut ikut naik beliau bahkan membantu beberapa orang tua dan perempuan untuk menaiki gerbong yang memang lumayan tinggi. Dalam hati aku berpikir jangan-jangan kami harus berdiri lagi untuk pulang ke Malang.
“Aduuh ampun deh Pak Guru, 3 jam berangkat tadi aku bisa mengerti tetapi kalau sampai 3 jam pulang juga berdiri lagi tidak kebayang capeknya” batinku. Setelah tinggal aku dan Pak Guru serta beberapa orang laki-laki di belakang kami maka kami pun masuk ke dalam gerbong dan benar saja kursi gerbong telah terisi penuh kami dan beberapa penumpang harus rela berdiri.
“Mati aku, harus berdiri lagi nih”. Pak Guru mendorongku agar sedikit masuk dan menjauhi pintu keluar, kulihat dua orang pengamen dengan “krempyeng” dan bungkus permen bersandar di pintu gerbong paling depan. Dari arah berlawanan kulihat orang berseragam putih menuju kearah kami dan berkata “Permisi-permisi saya mau buka gerbong pertama ayo yang berdiri ikut saja”.
Aku masih tidak mengerti apa maksud yang dikatakannya, tetapi sekilas kulihat senyum di wajah Pak Guru dan beliau menarik tanganku untuk mengikuti orang berbaju putih tadi. Orang berbaju putih itu lalu mengeluarkan kunci dari sakunya dan membuka pintu gerbong yang tadinya dibuat bersandar pengamen dengan krempyengnya tadi. Dan Masyaallah, kulihat gerbong yang jauh berbeda dengan gerbong kelas ekonomi di belakang kami. Gerbong ini memiliki kursi yang terlihat empuk, dua kursi setiap deret dan di depan ada sebuah televisi layar datar. Sambil menekan tuas di bagian bawah kursi dan memutar kursi-kursi kearah depan orang berbaju putih tadi mempersilahkan Kami dan penumpang yang tidak kebagian kursi di gerbong ekonomi dipersilahkan untuk duduk mengisi gerbong yang teryata kelas eksekutif. Alhamdulillah, teryata dengan tiket kelas ekonomi kami mendapatkan gerbong eksekutif. Aku berpikir coba kami tadi ikut berebut naik dan tidak membantu penumpang lain untuk naik terlebih dahulu. Mungkin kami akan mendapatkan tempat duduk di kelas ekonomi. Aku jadi teringat kata-kata Pak Guru saat kami berbincang di gubuk tengah sawah desa kami. “Tanamlah padi maka kau akan memanen beras, dan taburlah rumput maka kau akan tuai alang-alang”. Pak Guru telah memberikan pelajaran bagiku hari ini, tidak di bangku sekolah tetapi di bangku kereta api yang berlari mantap menuju Malang.
Bagi teman-teman ini mungkin menganggap ini hanya sebuah cerita, tetapi ini adalah sebuah cerita nyata yang benar-benar terjadi. Tuhan teryata memang tidak pernah tidur.
*******
Kamar adik, 20 November 2010
*dapat dilihat juga di www.abawonos.blogspot.com

You Might Also Like

0 komentar

Instagram