13.04



Gadis kecil itu hidup dengan kedua orang tuanya di sebuah desa nelayan. Dia berumur 8 tahun dengan wajah oval yang cantik dan kulit kecokelatan karena terpapar matahari pantai. Saat ini adalah puncak musim dingin, udara musim dingin dengan mudah menembus dinding rumah mereka yang terbuat dari papan. Tidak ada kayu atau batu bara yang dapat menghangatkan rumah mereka. Ayah si gadis adalah kuli angkut ikan dan ibunya membantu membersihkan tempat lelang ikan dengan upah diperbolehkan mengambil ikan yang tidak laku dijual karena telah sedikit busuk. Di musim dingin tahun ini cuaca sedemikian buruknya menyebabkan banyak nelayan yang tidak melaut sehingga tentu tidak ada pekerjaan yang bisa ibu dan ayahnya kerjakan di tempat lelang ikan. Uang mereka telah habis untuk membeli makanan dan kini saat badai musim dingin tiba, mereka bertiga bersesakan di dalam rumah dengan satu selimut.

Mereka hanya memiliki satu selimut untuk menghangatkan badan. Si gadis kecil dilingkupi oleh kedua orang tuanya agar tetap hangat. Malam itu tidak ada kalimat yang keluar dari kedua orang tuanya. Hanya ada bibir pucat dan getaran badan kedua orang tuanya karena menggigil yang tidak bisa dilupakan oleh si gadis kecil. Saat fajar pagi menyapa desa si gadis kecil bangun dari tidurnya. Kedua orang tuanya masih mendekap badan mungilnya. Tetapi kini bukan kehangatan lagi yang dirasakan si gadis kecil tetapi rasa dingin yang keluar dari tubuh ke dua orang tuanya.

Si gadis kecil mencoba membangunkan kedua orang tuanya tapi tidak ada jawaban dari mereka, maka isak tangis mulai keluar dari mulutnya. Tahulah dia bahwa kedua orang tuanya telah meninggalkannya sendiri. Setelah pemakaman si gadis kecil meninggalkan makam kedua orang tuanya. Matahari telah bersemayam di ufuk dan hawa dingin telah merambati kulitnya. Dia bingung harus menemui siapa, desa nelayan ini adalah desa miskin. Masing-masing keluarga mempunyai masalah kemiskinan yang telah menjalar puluhan tahun dan tak kunjung terentaskan. Tidak ada keluarga di desa ini yang sanggup menambah jumlah keluarganya dengan mengadopsi si gadis kecil. Maka dengan langkah gontai si gadis kecil ini berjalan ke rumah papan peninggalan kedua orang tuanya. Perutnya belum terisi apa-apa sejak pagi dan badannya mulai menggigil. Diambilnya satu-satunya selimut yang dimilikinya. Ditenggelamkannya tubuh mungilnya di balik selimut itu berharap dingin terusir dari tubuhnya. Tapi belitan rasa lapar dan tusukan hawa dingin tak kunjung meninggalkan dirinya. Si gadis kecil berdoa “Ya, Tuhan aku tahu engkau menyayangiku dan tak akan meninggalkanku, maka berikanlah aku jalan yang terbaik di kehidupan ini.”

Selang beberapa saat terdengar satu ketukan di pintu, gadis kecil itu tak beranjak. Terdengar satu ketukan lagi, kali ini lebih keras. Si gadis kecil beringsut melangkah ke pintu rumahnya. Deru angin terdengar jelas di balik pintu, setelah dibuka ternyata salah seorang laki-laki tetangganya membawakan paruhan roti.

“Setiap hari kami memakan dua potong roti gandum dengan taburan sedikit kacang buatan istriku yang kami bagi dua, satu untuk istriku dan satu untukku. Aku ingat bahwa kau tak punya makanan di rumahmu. Ini adalah separuh jatah rotiku, makanlah roti ini tapi jangan bilang pada istriku bahwa aku ke sini dan memberikan jatah rotiku padamu kalau tidak dia akan marah. Karena takut aku lemas bekerja bila kurang makan.”

Si gadis kecil tertegun, dipandangnya roti itu lalu berganti memandang tetangganya tadi. Diterimalah roti itu dari tangan tetangganya dengan ucapan terima kasih. Lalu tetangganya segera pergi dari rumah papannya. Si gadis kecil melangkah ke tempat tidurnya, roti di tangannya diletakkan di dalam selimutnya. Tapi belum lama dia berada di atas ranjang, terdengar ketukan di pintunya lagi. Si gadis kecil meletakkan rotinya dan menghampiri pintu papannya. Deru angin masih terdengar jelas di balik pintu itu. Begitu dibuka ternyata ada seorang wanita yang merupakan istri dari tetangganya yang memberikan dia paruhan roti tadi.

“Maaf, aku tahu kau lapar tetapi tidak ada makanan di rumah kami. Aku tidak bisa memberikan makanan untukmu. Tapi kulihat rumahmu sangat gelap, pasti kau kedinginan. Ini terimalah lentera kecil ini, semoga bisa menghangatkanmu. Ini adalah lentera yang biasa dipakai suamiku untuk pergi mencari ikan. Kuambil di perahunya agar bisa kau pakai, ini ambil koreknya juga. Terimalah tapi tolong jangan bilang suamiku, kalau tidak dia akan marah karena dia harus mengumpulkan uang ekstra untuk membeli lentera baru.”

Perempuan itu menyerahkan lentera kecil di tangannya, setelah itu dia mengendap-endap pergi ke arah rumahnya. Si gadis kecil tertegun, lalu melihat dengan seksama di bawah pancaran bulan. Lentera di tangannya terlihat sudah usang tapi di bagian penampung minyak terlihat cairan bening hampir memenuhi penampung minyak itu. Setelah puas melihat lentera di tangannya, diletakkannya lentera itu di meja dekat ranjangnya di putar kenop di samping lentera itu sehingga sumbu yang tadinya berada di bawah terangkat ke atas. Di bukanya pelindung kaca lentera itu dan dinyalakannya lalu dengan hati-hati pelindung kaca itu ditutupkannya lagi. Rumahnya yang gelap telah menjadi sedikit terang sekarang. Dijulurkannya tangan kecilnya ke sisi lentera, hawa hangat merambati permukaan tangannya.

Diambilnya roti di balik selimut dan dimakannya pelan-pelan. Hati gadis kecil itu begitu gembira, kini tiap malam dia tak lagi begitu kedinginan dan kelaparan. Karena setiap malam lelaki tetangganya itu mengantarkan paruhan roti kepada si gadis kecil. Terkadang paruhan roti itu dilempar dari balik jendela sambil lalu. Si gadis kecil bersyukur karena doanya dikabulkan oleh Tuhan. Tapi memasuki hari keempat, cahaya di lentera itu semakin redup karena minyak di penampungannya semakin berkurang, lewat tengah malam lentera itu mati total. Udara dingin langsung menyergap tubuh si gadis kecil, roti pemberian lelaki tetangganya belum sempat dimakan dan diletakkan di balik selimutnya. Angin berderu kencang, badai telah datang. Gadis kecil itu melihat dengan tatapan kosong pada lentera di depannya seraya berdoa,

“Tuhan, aku tahu engkau memberikan yang terbaik bagiku maka aku akan selalu bersyukur pada semua keputusanmu.”

Fajar pagi menyingsing, di sebuah rumah tak jauh dari rumah papan si gadis kecil. Seorang perempuan mengambil botol kecil berisi minyak yang disimpannya tadi malam di bawah ranjangnya. Botol berisi minyak itu sedianya akan diberikan pada gadis kecil tetangganya. Minyak di lentera itu pasti hampir habis pikirnya. Sebetulnya perempuan itu akan memberikan botol berisi minyak kemarin malam. Tetapi karena ada teman suaminya yang berkunjung dan badai hebat yang menerjang tadi malam membuatnya tidak bisa keluar. Dengan langkah bergegas dia melangkah ke rumah si gadis kecil tetangganya. Diketuknya pintu papan itu, satu kali, tak ada tanda-tanda pintu dibuka, dua kali, pintu papan itu tak kunjung bergerak dari tempatnya, maka dibukalah pintu itu dengan perlahan. Dilihatnya si gadis kecil di ranjang tidur terbungkus selimut di badannya dan lentera di meja samping tempat tidurnya, tapi rona wajah perempuan itu segera berubah warna begitu melihat tubuh yang telah terbujur kaku di depannya. Dibukalah selimut yang menutupi tubuh gadis kecil itu dan betapa kagetnya bahwa di genggaman tangan mungilnya ada paruhan roti gandum dengan taburan kacang di atasnya. Di peluknya tubuh mungil itu, tangis penyesalan perempuan itu pecah bersama naiknya matahari dari ufuk.

Alhamdulillah

08/04/11

You Might Also Like

0 komentar

Instagram