Jokowi: Populisme yang Alhamdulillah!
09.39
Esai Novriantoni Kahar
Direktur Yayasan Denny JA
Indonesia sungguh beruntung dengan hadirnya sosok pemimpin
populis sejenis Joko Widodo alias Jokowi. Kesimpulan ini saya dapat setelah membaca ulasan ciamik tentang capres
dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu dari tulisan seorang
Indonesianis asal Australian National University (ANU), Marcus Mietzner. Tulisan
berjudul Jokowi: Rise of a Polite Populist itu dimuat di berkala Inside
Indonesia nomor 116, edisi April-Juni 2014. Di situ, Mietzner antara lain
menjuluki versi populisme Jokowi sebagai jenis populisme yang terbuka
(inclusive), tidak meledak-ledak (de-escalating) dan santun luar biasa
(unusually polite). Intinya, populisme Jokowi umumnya lembut dan bersahabat.
Jenis populisme Jokowi ini dia anggap merupakan antitesis
dari populisme lawan tandingnya di Pemilu Presiden Juli nanti, Prabowo
Subianto, yang tampak lebih keras dan mengandung unsur-unsur ultra-nationalisme
and konfrontasi yang kental dengan retorika-retorika yang brutal. Pada Jokowi,
populisme tidak digunakan untuk mengeksploitasi sentimen massa dengan
retorika-retorika yang menghembuskan angin-angin surga, misalnya dengan
mengumbar kebencian terhadap kelas atau kelompok masyarakat tertentu. Pada
Jokowi, populismenya lebih banyak mengarah pada bagaimana mengajak masyarakat
untuk menyelesaikan persoalan praktis sehari-hari yang memang mereka hadapi
secara konkret.
Saya katakan Indonesia beruntung punya pemimpin populis yang
santun seperti Jokowi, terutama bila kita bandingkan dengan sosok populis di
negara-negara lain seperti Amerika Latin dan juga Iran era Ahmadinejad. Problem
pemimpin populis umumnya: mereka sering terbuai oleh euforia dan histeria massa
yang mendukungnya, lalu mengumbar janji-janji palsu yang tidak realistis demi
memuaskan dahaga dan fantasi massa akan kehidupan yang lebih indah. Lantas
mereka malah menyalah-nyalahkan pihak tertentu—misalnya asing, Yahudi, Cina,
Amerika, atau kambing hitam lainnya—daripada fokus dan secara kalem
menyelesaikan problem konkret sehari-hari yang dihadapi rakyatnya.
Populisme Jokowi, sejauh yang saya amati, alhamdulillah
masih tampak sehat walafiat. Dia belum pernah menggiring ketidakpuasan atau
kemarahan massa ke arah tindakan-tindakan yang agitatif dan destruktif. Jokowi
bukanlah seorang orator atau demogog yang akan membawa massanya untuk mengutuk
ini dan itu, menyumpahi ani dan anu, atau ajak menggayang sini dan situ. Dia
tidak mengeksploitasi sentimen-sentimen kesukuan, keagamaan, kedaerahan, atau
kelas sosial, demi sebuah keuntungan elektoral. Mungkin karena uniknya jenis
populisme Jokowi itu, majalah The Economist edisi 26 Januari 2013 pernah
menjulukinya sebagai “sosok penuntas masalah” atau Mr. Fix-It. Saya
menyimpulkan populisme Jokowi sebagai jenis populisme yang berkah dan
alhamdulillah.
Saya berharap, Jokowi tetap menjadi sosok populis yang setia
berempati dan berkomitmen untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat
jelata—atau wong cilik dalam istilah PDIP—serta bangsa, dengan cara menuntaskan
persoalan-persoalan konkret mereka dengan program-program yang realistis dan
terukur. Kita, atau saya pribadi, tak ingin Indonesia dipimpin oleh sosok
populis yang suka mencari-cari kambing hitam dan gemar mengalihkan persoalan.
Kita juga tak ingin pemimpin yang memberi rakyatnya sarapan agitasi, menyuguhkan
makan siang konfrontasi, dan menyajikan makan malam berupa mimpi.
Hidup ini terlalu berat dan singkat untuk menghiraukan
jenis-jenis populisme yang nauzubillah itu. Mari berdoa, semoga Jokowi tetap
konsisten dengan jenis populismenya yang lembut dan bersahabat itu. Mas Jokowi,
tetaplah woles dan rapopo dengan jenis populismemu!
Jakarta, 12 Mei 2014
0 komentar