Diskusi F**k and Sh**t 9S10A

14.30

Sebuah tweet mampir di timeline saya kemarin malam, isinya ternyata sebuah undangan untuk bertemu dengan Iwan Setyawan, penulis buku 9 summer 10 autumn di Kedai Buku Sinau. Sebuah kesempatan yang tidak saya sia-siakan, saya replay langsung ke akun Mas Iwan untuk bertanya dimana Kedai Buku Sinau sekarang (saya dulu tahunya di depan Magistra Utama terus dibongkar). Sebuah tweet dari Mas Iwan mampir di timeline :

@abawonos KEDAI SINAU di Jl. Simpang Wilis Indah Ruko Retawu B-6 Malang (dpn Pasar Buku Wilis). See you tomorrow?:)

Maka hari ini sepulang dari kantor saya segera menuju ke alamat yang tertera. Motor-motor sudah lumayan banyak berjejer di parkiran karena saya telat sekitar 30 menit (jalanan di Malang sudah mulai tidak kalah dengan surabaya dan jakarta). Perbincangan dibuka oleh Mas Vincent dari radio Mas FM lalu dilanjuti pembukaan sedikit dari salah satu pendiri komunitas menulis Online di kota Malang yaitu Mas David kalau tidak salah beliau yang membuat portal sastra bernama Pelangi sastra.com dan Discovery Indonesia. Saya belum pernah bertemu dengan Mas Iwan dan sedikit kaget karena secara fisik tidak sama seperti dalam gambaran di pikiran, ternyata dia kecil dan kerempeng plus rajin mengucap “F**k”, budaya koboi Amriknya ga bisa hilang mungkin ya he3. Mas Iwan tampil santai malam itu lengkap dengan syal nya. Bagi yang belum kenal, beliau pernah diwawancarai oleh Andy F Noya dalan Kick Andy karena membuat sebuah buku yang bagus berjudul 9 Summer 10 Autumn.

Pertemuan malam ini memang tidak disetting serius, semacam talkshow dengan topik bebas. Di awal mas Iwan bercerita tentang pentingnya social media saat ini, bagaimana social media mampu membuat berbagai perubahan dan pergerakan penting di dunia nyata. Dia menggambarkan bahwa anak-anak muda Indonesia baik itu di Jakarta, Bandung, Medan maupun Malang tidak jauh beda dengan anak-anak muda di New York, San Fransisco, Milan ataupun di Paris. Di twitter pun kita tak kalah dari negara-negara lain tetapi sayangnya kita kurang bisa memanfaatkan social media itu sebagai suatu ajang yang memberi value pada banyak orang. Kita lebih memanfaatkan untuk hal-hal yang kurang bernilai.

“Seperti F**king sinetron, yang akhirnya membuat masyarakat kita melodramatic”.

“Galau itu boleh, karena galau itu semacam kita berjalan terus kesasar atau ada jalan buntu. Terus kita berhenti dan berpikir kayaknya saya harus sedikit mengubah halauan deh. Galau itu adalah kontemplasi diri kita bahwa ada yang salah dengan diri kita lalu di evaluate”.

Ada juga teman-teman beliau di NY yang tidak memakai social media karena mereka tidak mau kehilangan Living Moment, banyak diantara kita hidup-hidup aja tanpa melihat lebih dalam, tanpa merasa ada Living Moment. Padahal kalau saja kita bisa melihat lebih dalam dan teliti banyak yang bisa kita dapatkan dari hidup.

“Contohnya di saat makan bareng ibu, bapak, dua orang anak berkumpul di meja makan. Apa yang mereka lakukan? Masing-masing sibuk dengan gadget nya, dengan BB nya dan tidak menikmati Living Moment saat itu. Oleh karena itu beberapa teman-teman saya secara ekstrim memilih tidak memakai gadget atau social media agar mereka bisa menikmati tiap momen dalam hidupnya tanpa harus diperbudak oleh gadget, facebook atau twitter”.

Beliau juga mengapresiasi pertemuan kali ini yang merupakan pertemuan dadakan tetapi di luar dugaan mampu menyedot banyak perhatian dari komunitas muda kota malang mulai dari penulis, musisi hingga sastrawan. Digambarkan juga bahwa renaisancce Eropa maupun revolusi perancis berwal dari diskusi-diskusi kecil di kafe-kafe yang akhirnya membawa perubahan besar.

Menyangkut kenapa beliau berputar haluan dari seorang direktur di sebuah perusahaan di New York dan memilih balik kandang ke Kota Batu adalah karena kerinduannya pada tempat kelahiran. Beliau berkata bila wanita punya siklus menstruasi maka beliau mempunyai siklus ingin pulang kampung tiap tahunnya. Sampai pada tahun ke-6 dia memutuskan untuk kembali ke kampung halaman, melakukan sesuatu yang bernilai dan sesuai dengan hatinya.

“Kita semua pasti pernah berpikir bahwa kita harus mengikuti hati, melakukan sesuatu yang meaningfull. Maka saya ikuti hati saya, anda pun harus mengikuti hati anda”.

Beberapa orang temannya berkata bahwa itu brave desicion-keputusan yang berani tetapi lebih banyak yang berkata itu adalah keputusan bodoh. tapi dia tetap bergeming dengan keputusannya dan memilih untuk pulang kampung.

“F**k dengan teman-teman saya yang mengatakan keputusan saya bodoh”.

Saat dirumahnya yang nyaman itulah Mas Iwan mulai tertarik untuk menulis tentang kehidupannya dan keluarganya, kenapa? Karena di rumah beliau tidak ada album foto keluarga, beliau hanya berpikir bagaimana membuat suatu tulisan yang mampu mencapture kehidupan keluarganya.

“Saya menulis untuk para ponakan saya, biar mereka tahu bagaimana sejarah keluarga . Oke orang lain boleh punya album keluarga tapi saya bisa berkata hei saya punya buku yang menceritakan keluarga saya”. Paparnya

“Saya bukan penulis, maka pertama kali saya menulis dan saya baca , rasanya saya ingin muntah. Tulisan saya alay sekali. Tapi saya mencoba dan mencoba lagi sampai sekitar 15 kali maka saya mulai dapat feelnya. Menulis itu bukan masalah kemampuan tapi kemauan. Kita semua bisa menulis, hanya perlu meluangkan waktu. Orhan Pamuk seorang pemenang nobel sastra (saya pernah baca salah satu karyanya berjudul My Name is Red, keren.) meluangkan 8 jam setiap hari untuk menulis”. Tutur beliau.

“Cobalah mengisi kehidupan kita dengan karya-karya yang bagus, musik berkualitas, atau painting. Anak-anak muda sekarang bacalah lagi Pramoedya A Toer, Buya Hamka, Chairil Anwar”.

Perbincangan berlanjut mengenai kepenulisan,

“Ada ungkapan bagus dari Dostoevsky, “Man can live without science, he can live without bread, but without beauty he could no longer live.” The world needs beauty”.

Inilah yang mendorong beliau untuk mencari “beauty” dalam hidup,

“Hidup hanya sekali, maka berkaryalah. Dunia boleh berubah, Indonesia boleh kacau-balau, atau banyak Nazaruddin atau gayus baru, tapi asalkan kita mempunyai satu bendel karya bernama buku yang tak lekang oleh waktu, asalkan kita memiliki karya yang ber”value” itu sudah cukup”.

Seorang cewek datang mencari tempat duduk, saya terpaksa mengalah dan mempersilakan tempat duduk saya ditempati karena tidak ada tempat duduk lagi. Saya memilih berdiri di belakang, tak lama kopi susu pesanan saya datang, oh ya malam itu semua teman-teman yang berkumpul di Kedai Buku Sinau mendapat traktiran kopi dan makanan ringan dari Mas Iwan. Mas Iwan sedang menghabiskan royalti goda Mas Vincent.

“Jangan takut untuk dibanting dan merasakan penderitaan dalam hidup, karena hidup yang bernilai itu adalah hidup yang dilalui dengan perjuangan. Hidup itu kosong kalau kita melaluinya tanpa perjuangan. Ikuti hati anda karena anda akan totalitas disana, bila ada menulis lalu anda berjuang sampai tetes-tetes air mata jatuh di kertas tapi anda tetap menulis itulah perjuangan yang akan anda kenang 5-10 tahun lagi”.

Percakapan mulai beralih ke tanya jawab, pertanyaan pertama tentang kapitalisme-kapitalisme (whatever lah). Saya kurang jelas mendengarnya karena suaranya kecil dan pertanyaannya panjang sekali. Rupanya pertanyaannya menyinggung juga tentang menerbitkan buku. Mas David menjawab dengan lugas bahwa harus terjadi kompromi antar penulis dan penerbit. Karena di satu sisi penulis ingin bukunya diterbitkan tetapi penerbit juga berhitung dengan cost yang dia keluarkan untuk mencetak buku itu.

Mas iwan menceritakan bahwa social media sangat penting untuk memasarkan buku-buku yang kita terbitkan. Contohnya saat buku 9 Summers 10 Autumns akan diterbitkan oleh Gramedia maka yang dia lakukan pertama kali adalah menginformasikan bukunya di banyak grup social media.

“Saya masuk ke grup penulis, masuk ke grup AREMANIA, masuk ke grup apa saja yang intinya saya mengabarkan buku 9 Summers 10 Autumns. F**k, bila saya nerbitin buku terus orang bilang apa sih 9 Summers 10 Autumns?”.

Dikritisi juga saat ini banyak penulis yang bisa menulis tapi belum bisa memarketingkan bukunya, lalu tentang Pop Culture dimana banyak buku-buku yang hanya mengandung entertain saja tanpa ada suatu “value” yang bisa didapatkan oleh pembacanya.

“Genre-genre movies kita rupanya telah masuk ke dunia perbukuan, banyak buku-buku saat ini yang berisi hatu-hantu, mulai suster ngesot, suster ngepot, suster ngepet dan suster-suster lainnya. F**k suster ngesot”.

Peryataan ini disanggah oleh teman Mas Iwan melalui puisi, dikatakan di dalam puisi itu bahwa biarpun karya-karya serupa Pocong Bukan Pocong adalah karya picisan tapi mereka berkarya. Saat ini bukan waktunya bilang ini salah dan itu benar tapi ini saatnya menghadapi karya-karya picisan itu dengan karya yang ber”value”. Dulu karya-karya Motinggo Busye pun dianggap picisan tapi saat ini menjadi legenda.

“Dunia ini adalah Land of opportunity, land of hope, land of chance. Semua itu hanya ditutupi oleh dinding-dinding bernama dinding ketakutan, dinding keraguan, dinding kebimbangan. Tugas kita adalah memukul dan merobohkan dinding itu sehingga kita bisa melihat peluang-peluang di baliknya”.

“Jangan pernah berhenti (berputus asa), bapak saya lulusan smp tapi dia tidak berhenti disitu, dia menjadi sopir angkot tapi dia tidak berhenti disitu, dia ingin memperoleh angkot sendiri, setelah dapat dia tidak berhenti disitu, dia ingin anak-anaknya kuliah”.

Lalu banyak bahasan dan performance dari peserta yang menampilkan musik dan puisi. Oh ya awal pertemuan dibuka sama akustik Some one like you nya Adele (kalau yang ga tahu adele searching di mbah gugel aja). Jam menunjukkan pukul 22 maka pertemuan di akhiri. Ditutup oleh puisi yang berjudul Sajak Galau (puisi ini keren).

29/12/2011

You Might Also Like

0 komentar

Instagram